'Manajemen Curiga' Dalam Ujian Nasional

Oleh: Afrianto Daud,
Guru MAN 3 Batusangkar dan alumni Fakultas Pendidikan Monash University Australia
(Artikel ini diterbitkan Padang Ekspres, Senin, 05 Mei 2008)

’Manajemen berbasis curiga’ (’suspicious-based management’) sesungguhnya sudah sangat lama dipraktekkan dalam administrasi negeri kita. Beberapa aturan main dalam budaya administrasi kita merefleksikan ’manajemen curiga’ ini. Kewajiban penggunaan cap/stempel pada setiap dokumen resmi di Indonesia adalah salah satu bentuknya. Penggunaan stempel ini tentu dimaksudkan untuk memastikan bahwa sebuah surat/dokumen adalah benar-benar asli. Dengan kata lain, aturan ’wajib stempel’ ini dibikin untuk nengantisipasi kekhawatiran (baca:kecurigaan) pihak terkait agar seseorang tidak dengan mudah membuat surat atau dokumen palsu (walaupun sesungguhnya membuat stempel palsupun di Indonesia bukanlah sesuatu yang sulit).

Aturan wajib legalisir fotokopi sebuah dokumen resmi adalah contoh lainnya. Dokumen penting, seperti ijazah, sertifikat tanah, transkrip nilai, dan yang sejenisnya tidak akan bisa digunakan untuk mengurus sebuah keperluan, apabila tidak dilengkapi dengan pernyataan pejabat berwenang bahwa dokumen yang bersangkutan adalah sesuai dengan bentuk aslinya.

Sebagaimana halnya cap stempel, legalisir ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa dokumen itu bukanlah dokumen palsu. Legalisir menjawab kecurigaan atas seseorang yang bisa saja memalsukan dokumen itu. gak berbeda dengan negeri kita, di luar negeri, seperti Australia, penggunaan stempel tidak menjadi kultur dalam administrasi negeri Kangguru ini. Makanya, tidak heran kalau dokumen sangat penting, seperti ijazah sebuah perguruan, hanya dibubuhi tanda tangan pimpinan, dan sama sekali tidak memiliki cap stempel. Merekapun tidak mengenal legalisir ijazah, dan sejenisnya. Dengan demikian, ketika kita ingin menggunakan dokumen-dokumen penting itu, kita cukup memfotokopinya. Dan tak satu orangpun kemudian akan mempertanyakan kesusuaian foto kopi dokumen itu dengan yang asli.

UN dan Manajemen Curiga

Hari ini bentuk ’menajemen curiga’ ala pemerintah Indonesia itu juga lahir dalam bentuk lain. Beberapa kebijakan terkait penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) sepertinya tak terlepas dari aura kecurigaan itu. Keputusan pemerintah untuk melibatkan mereka yang selama ini berada di ’luar sistem’ pendidikan, seperti kepolisian dan lembaga pemantau independen, bisa jadi sangat terkait dengan besarnya ketidakpercayaan (baca: kecurigaan) pemerintah terhadap tenaga pendidik dan kependidikan sebagai penyelenggara UN selama ini.

Keterlibatan pihak kepolisian tidak hanya pada pengawasan proses percetakan soal, tapi sampai pada penyerahan soal ke pihak sekolah dan saat ujian berlangsung. Yang paling menarik adalah, sebelum soal UN sampai ke sekolah, soal-soal ini diinapkan di kantor kepolisian terdekat. Pemerintah sepertinya sangat yakin, bahwa pihak kepolisian tak mungkin akan membocorkan rahasia negara ini. Pada saat yang sama bisa dipahami bahwa pemerintah sudah tak lagi percaya kepada pihak sekolah bakal bisa menjaga kerahasiaan ini.

Keterlibatan lembaga pemantau independen pada pelaksanaan UN juga bisa dimasukkan dalam konteks ’manajemen curiga’ ini. Sebagaimana halnya pihak kepolisian, tim pemantau independen ini tidak hanya bertugas mengawasi prosesi percetakan soal UN, tapi (yang paling penting) juga sampai pada mengawasi pelaksanaan UN pada hari H. Tim ini bertugas layaknya ’wasit’ yang memperhatikan dan menilai apakah sebuah permaianan berjalan secara fair atau tidak.

Tidak hanya itu, Prosedur Operasional Standar (POS) UN 2007/2008 juga memberikan tekanan khusus pada salah satu item aturan tata tertib pelaksanaan UN. Mulai tahun ini, proses pemasukan Lembar Jawaban UN ke dalam amplop dan melakban amplop harus dilakukan sendiri oleh pengawas ujian di dalam ruang ujian dan dengan disaksikan oleh Tim Pemantau Independen. Pada tahun sebelumnya, ceking akhir Lembar Jawaban ini biasanya dilakukan oleh panitia pelaksana ujian di sekolah di ruang panitia.

Kalau kita bertanya, kenapa tiga poin di atas menjadi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Ujian Nasional tahun ini. Sekali lagi, saya pikir aturan ini tidak dipisahkan dari besarnya ’kecurigaan’ pemerintah kepada berbagai pihak terkait, terutama guru dan sekolah, akan adanya kemungkinan mereka untuk melakukan tindak kecurangan pada pelaksnaan Ujian Nasional. Kecurigaan ini sebenarnya sangat beralasan, karena cerita tentang ketidakjujuran ini telah menjadi cerita tahunan yang senantiasa terdengar setelah pelaksanaan Ujian Nasional berakhir. Tiga poin yang dibicarakan di atas adalah tiga tempat yang berpotensi menjadi lubang untuk melakukan kecurangan dalam UN selama ini (Baca tulisan St Kartono di harian Kompas, 22 Juni 2006).

Dengan demikian, keterlibatan lembaga kepolisian dan lemabaga pemantau independen diharapakan bisa mencegah dan meminimalisir kemungkinan terjadinya kecurangan di masa yang akan datang.

Guru Tak Pantas Dicurigai?

Di atas kertas, sesungguhnya para pendidik ini tak pantas dicurigai. Karena sebagai seorang pendidik, tentu para guru tahu bahwa mereka adalah bagian diantara mereka yang bertanggung jawab menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran dalam kehidupan. Para guru adalah mereka yang berada di garda terdepan dalam mentransfer nilai-nilai kejujuran kepada siswa. Sebuah nilai yang bakal menjadi modal utama bagi seorang siswa kelak ketika menjalani kehidupan yang sebenarnya.

Sekali lagi, guru sesungguhnya tak pantas dicurigai berlebihan. Pelibatan kepolisian yang mengawal pelaksanaan UN sampai ke sekolah seperti telah menempatkan para guru ini sebagai pelaku tindak kriminal yang gerak-geriknya harus diawasi, bahkan (hampir) sampai ke ruang-ruang kelas ujian. Kecurigaan berlebihan ini, bahkan sampai menurunkan angkatan kepolisian sekelas Densus Antiteror 88, tidak hanya secara tidak langsung telah menjatuhkan wibawa guru sebagai pendidik, tapi juga telah memproklamirkan ’kepada dunia’ bahwa dunia pendidikan kita (baca: sekolah) seolah dihuni oleh kumpulan preman pembuat makar kejahatan. Ironis memang!
Namun demikian, sepertinya pemerintah tentu tak sepenuhnya bisa disalahkan. Karena setiap tahun cerita ketidakjujuran yang dilakukan oknum guru dalam pelaksanaan UN terus saja berulang. Tahun ini tetap terdengar ada guru yang membiarkan siswanya saling contek saat ujian. Ada guru yang membantu siswa saat ujian. Bahkan, sampai tulisan ini dibuat, sedikitnya ada 4 kepala sekolah dan 26 guru harus ditangkap pihak keamanan dan berurusan dengan pihak kepolisian karena diduga membocorkan soal ujian pada pelaksanaan UN kemaren. (Suara Pembaharuan, 25/04/2008)

Epilog
Sebagai kebijakan nasional yang masih diperdebatkan, seyogianya UN dilaksanakan dengan format yang relatif bisa diterima oleh banyak pihak, terutama guru dan pihak sekolah. Saling mencurigai yang berlebihan jelas tidak akan membuat UN kepada susana yang lebih kondusif. Di satu sisi, guru harus menjalankan profesionalisme keguruanya secara baik, salah satunya dengan cara menempatkan kejujuran sebagai dasar menjalankan tugas sebagai penyelenggara UN, dan di sisi lain pemerintah tidak perlu overacting dalam mencurigai para guru di lapangan. Dibutuhkan konsep penyelenggaraan yang relatif lebih berterima oleh banyak pihak dalam teknis penyelenggaran UN mendatang. Wallahu a’lam. (***)

I teach (and learn) for the same reason I breathe. Jatuh cinta dengan kegiatan belajar dan mengajar, karena dua aktifitas inilah yang menjadikan peradaban terus tumbuh dan berkembang ^_^ I have been teaching in various institutions in Indonesia, ranging from primary school to university level. I am currently an associate professor in the English education department of Universitas Riau, Indonesia. My research interests are in the areas of (English) teacher training and education, English Language Teaching, and educational policy in the Indonesian context. I am happy to share my knowledge with all interested teachers worldwide. Feel free to contact me through my email as seen in my blog :-). Many thanks!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »