Ujian Nasional: Polemik Yang Terus Berulang


Oleh: Afrianto Daud

Polemik tentang Ujian Nasional kembali mengemuka dalam wacana pendidikan nasional menyusul keputusan Mahkamah Agung tertanggal 14 September 2009 bernomor register 2596 K/PDT/2008 yang menolak permohonan kasasi yang diajukan para tergugat (dalam hal ini presiden, wakil presiden, mendiknas dan ketua BSNP) sebagai kelanjutan proses hukum terhadap gugatan citizen law suit yang diajukan oleh sekelompok pendidik, orangtua, aktivis LSM, dan beberapa siswa yang menjadi korban Ujian Nasional pada tahun 2006 silam.

Keputusan MA ini telah menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pengadilan menyatakan bahwa pemerintah telah lalai memenuhi kewajiban dan hak warga negara yang menjadi korban UN, khususnya hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pengadilan mewajibkan tergugat untuk mengingkatkan kualitas guru, melengkapi sarana dan para sarana, dan akses informasi yang lengkap dan merata di seluruh Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan UN.

Keputusan ini tentu disambut gembira oleh kelompok penggugat dan mereka yang selama ini mengkritisi Ujian Nasional. Forum Air Mata Guru di Medan sebagai forum yang dulu pernah melaporkan adanya kecurangan sistematis dalam pelaksanaan UN di Medan, misalnya, sangat terharu dan segera melakukan syukuran setelah mengetahui keputusan ini (Kompas,30/11/2009). Bagi mereka, keputusan itu semakin mendekatkan jalan bahwa penghentian (baca:penghapusan) UN yang selama ini digunakan pemerintah sebagai salah satu penentu kelulusan siswa dari jenjang pendidikan menengah tinggal menunggu waktu.

Walaupun diingatkan banyak pihak agar pemerintah mematuhi keputusan MA ini dengan meniadakan UN tahun 2010 sebelum persyaratan sebagaimana dimaksud keputusan MA terpenuhi, pemerintah ternyata tidak bisa menerima keputusan MA ini dan kemudian melakukan upaya hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali . Pada saat yang sama pemerintah melalui Mendiknas, Prof. Dr. Muhammad Nuh, menegaskan bahwa keputusan MA itu tidak akan menghentikan rencana pemerintah untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional pada tahun 2010. Alasannya terdengar sederhana, karena paket rencana UN tahuan 2010 telah berlangsung dan telah dianggarkan dalam APBN (Kompas, 25/11/2009).

Keputusan pemerintah untuk tetap jalan dengan rencana UN jelas akan kembali mempertajam polemik seputar UN. Polemik ini diperkirakan akan terus bergulir sampai anak bangsa ini menemukan satu formulasi kebijakan UN yang relatif diterima semua pihak. Bahkan kelompok penggugat dalam satu diskusi yang dilaksanakan LBH Jakarta berencana akan menginternasionalisasikan masalah UN dengan mengadukannya ke bagian pelaporan khusus PBB untuk hak pendidikan (Kompas, 1/12/2009).

Mengapa Polemik Terjadi?

Polemik UN yang sekarang kembali mengemuka tidaklah terjadi begitu saja. Dia bukan muncul dari respon sesaat yang tanpa dasar dari mereka yang mempertanyakan UN ini. Tentu ada alasan kuat di balik semua polemik ini. Karenanya himbauan Mendiknas untuk menghentikan polemik sekitar UN sangat tida relevan jika akar penyebab polemik tidak ditiadakan (Riau Pos, 15/12/2009).

Walaupun keputusan MA tidak menyebutkan pelarangan UN, namun ruh keputusan itu jelas mengingatkan semua pihak yang cinta dengan pendidikan negeri ini bahwa memang ada suatu yang salah dengan pelaksanaan UN selama ini. Bahwa ada satu kondisi yang memerlukan kita untuk kembali merenung dan merefleksi tentang baik buruknya UN ini.

Mencermati polemik UN yang sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun ajaran 2003/2004, pada dasarnya banyak pihak sepakat bahwa ujian berstandar nasional seperti UN ini diperlukan untuk mengukur pencapaian keberhasilan pembelajaran di tingkat sekolah sekaligus untuk mendapatkan peta kualitas pendidikan negeri ini.

Namun poin penting yang menjadi sumber keberatan banyak pihak adalah ketika UN dijadikan pemerintah sebagai salah satu syarat kelulusan siswa dari jenjang pendidikan menengah, sebagaimana tertmaktub dalam Permendiknas Nomor 75/2009 tentang Ujian Nasional SMP/MTs/SMPLB/- SMA/MA/SMALB. Lebih lagi ketika pemerintah mematok syarat nilai minimal yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan (tahun ini rata-rata minimal untuk lulus adalah 5,50 dengan enam mata ujian), maka keberatan banyak pihak semakin kuat.

Banyak orang yang mengkhawatirkan karena sangat beragamnya kualitas, fasilitas, dan perlakuan yang diperoleh ratusan ribu sekolah di negeri beribu pulau ini, maka angka itu tergolong berat untuk mayoritas siswa yang berada di daerah. Kemudian kelompok siswa seperti ini berpotensi menjadi korban berikutnya dari kebijakan UN (yang belum tentu bijak) ini. Mereka bisa kehilangan masa depan mereka, karena gagal memenuhi syarat kelulusan minimal.

Studi kualitatif yang dilakukan Afrianto (2007) mengungkapkan bahwa UN telah membawa banyak dampak negatif kepada pengajaran, kepada kurikulum, guru, siswa, dan pihak administrasi sekolah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekolah sekarang mempraktekkan apa yang disebut dengan teaching to the test, dimana suasana belajar di sekolah sekarang tidak jauh berbeda dengan apa yang sering kita temukan di dalam bimbingan belajar yang lebih memfokuskan anak-anak mereka membahas soal-soal UN, terutama pada siswa kelas XII, atau kelas IX. Dengan demikian idealisme pengajaran yang humanis dan berusaha mengembangkan tiga ranah pendidikan (koginitif, afektif, dan psikomotor) secara seimbang dalam suasana belajar yang kreatif, inovatif, dan dinamis akan menjadi terpinggirkan.

UN juga telah membuat para guru, administrator sekolah, siswa, dan orangtua merasa tertekan dan dipenuhi rasa khawatir jika nanti anak-anak mereka tidak lulus Ujian Nasional. Disamping karena malu dengan masyarakat, sekolah juga tidak siap jika dievaluasi oleh jajaran di atasnya, karena cendrung ada semacam pemahaman tak tertulis di kalangan pejabat (dan juga masyarakat) bahwa angka kelulusan UN yang tinggi adalah indikasi dari keberhasilan sekolah dalam mendidik anak-anak mereka.

Kemungkinan besar, suasana perasaan seperti inilah yang memicu sebagian siswa dan juga guru mencari jalan pintas agar anak-anak mereka lulus UN. Maka terjadilah kasus kecurangan yang tidak hanya melibatkan siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah yang selalu kita dengar setiap tahun pelaksanaan UN. Tahun kemaren misalnya, ada 16 kepala sekolah tertangkap basah oleh polisi karena berusaha membuka sampul soal dan berniat membocrkan soal ujian saat pembagian soal UN di kantor Diknas Pendidikan Bengkulu Selatan. Kisah kecurangan seperti ini terus menjadi cerita sedih dunia pendidikan kita sebelum, ketika, dan setelah UN berlangsung.

Mencari Jalan Tengah

Untuk jangka pendek, sepertinya diperlukan jalan tengah yang bisa memediasi dua kepentingan yang selama ini cendrung bersebrangan. Kepentingan pemerintah yang bersikukuh dengan pelaksanaan UN sebagaimana konsep dan format yang selama ini telah berlangsung, dan kelompok pengguggat yang mewakili mereka yang menginginkan penghentian UN, karena pemerintah dianggap belum bisa memenuhi kondisi yang diprasyaratkan keputusan pengadilan.

Saya memahami bahwa tidaklah mudah bagi pemerintah untuk serta merta menghentikan pelaksanaan UN pasca keluarnya keputusan itu, karena pemerintah melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) telah membuat aturan-aturan yang cukup matang tentang UN. Saat ini pemerintah tengah melakukan sosialisasi di beberapa daerah terkait perombakan tata aturan UN. Bahkan, dalam jangka panjang pemerintah justru berencana akan menghapus ujian semisal SNM-PTN dan benar-benar akan menggunakan nilai UN ini sebagai pertimbangan seorang calon mahasiswa diterima atau tidak di bangku perguruan tinggi (Kompas, 7/11/2009).

Saya berpendapat bahwa pada dasarnya UN diperlukan sebagai salah satu alat evaluasi pendidikan nasional kita. Adalah benar bahwa pemerintah memerlukan alat untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dalam bidang mata pelajara tertentu. UN juga diperlukan agar pemerintah memperoleh peta tentang keadaan objektif kualitas pendidikan nasional, yang kemudian berdasarkan peta ini pemerintah bisa menyusun dan melaksanaan program pembinaan kepada daerah dan atau sekolah yang dianggap masih tertinggal secara kualitas dari daerah dan atau sekolah lain. Pada akhirnya, dengan cara ini, secara berangsur pemerintah bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan gap kualitas yang selama ini terjadi dengan pendidikan kita.

Menurut saya, kalau pemerintah ingin memaksakan pelaksanaan UN pada tahun ini dan pada tahun mendatang, jalan tengahnya adalah pemerintah mesti berani melakukan pembatalan salah satu poin yang menjadi perdebatan selama ini. Pemerintah sangat disarankan untuk tidak menggunakan UN sebagai salah satu penentu (baca: yang paling menentukan) kelulusan siswa pada jenjang pendidikan menengah. Kembalikanlah hak untuk menentukan kelulusan siswa itu kepada pihak sekolah (baca: guru) yang pasti tahu persis bagaimana keadaan objektif prestasi dan rekam jejek seorang siswa selama tiga tahun pembelajaran di sekolah. Sehingga tidak ada lagi kisah seorang siswa yang memiliki track record sebagai siswa yang baik, santun, relatif pintar, tetapi kemudian harus kehilangan masa depannya, karena nilainya kurang 0.01 pada salah satu mata pelajaran UN dan dinyatakan gagal memenuhi syarat minimal nilai kelulusan.

Kalau pemerintah masih bersikeras untuk menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa, maka sebaiknya pemerintah menghentikan pelaksanan UN ini, sampai prakondisi yang disyaratkan keputusan pengadilan benar-benar terwujud. Kalau tidak, sungguh pemerintah telah buta hati, tuli, dan secara sadar telah mengabaikan begitu banyak suara dan masukan dari berbagai pihak yang kritis terhadap UN. Tidak hanya itu, (walaupun ada upaya hukum PK) pemerintah juga telah bersikap ‘mengangkangi’ keputusan pengadilan. Ini tentu bukanlah sebuah contoh yang tidak baik dari pemerintah yang akan sulit hilang dari memori publik. Wallahu’alam.

·

I teach (and learn) for the same reason I breathe. Jatuh cinta dengan kegiatan belajar dan mengajar, karena dua aktifitas inilah yang menjadikan peradaban terus tumbuh dan berkembang ^_^ I have been teaching in various institutions in Indonesia, ranging from primary school to university level. I am currently an associate professor in the English education department of Universitas Riau, Indonesia. My research interests are in the areas of (English) teacher training and education, English Language Teaching, and educational policy in the Indonesian context. I am happy to share my knowledge with all interested teachers worldwide. Feel free to contact me through my email as seen in my blog :-). Many thanks!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 comments

comments
9:29 PM delete

Pak Afrianto Daud, salam kenal.
Saya sepaham dengan Bapak, tentang kasus UAN ini. Saya ingin ekspos ini di Face Book, bagaimana pendapat anda. Tulisan Bapak sungguh sangat mengena, tinggal saya pikirkan apa judul yang baik, atau mungkin anda punya saran yang lebih brilliant. Sistim ini harus segera diubah Pak, kalau tidak ingin anak bangsa di,asa mendatang akan semakin terpuruk. Cita2 seorang Guru adalah menciptakan Murid2 yang mumpuni, bukan nya murid yang Stress, betulkan Pak.
Saya tunggu jawaban Bapak

Bambang Jarot,
Orang Tua seorang anak perempuan yang sempat stress karena UAN

Reply
avatar
12:55 PM delete

Pak Bambang yth,

Terimakasih telah mampir di blog saya. Terimakasih juga telah apresiasi tulisan saya. Maaf telat responnya nih.

Silahkan pak diposting ulang di FB atau dimana aja. Posting aja apa adanya. Gak usah ditukar judul.

Btw, tentang UN ini sepertinya masih jauh dari selesai. Selama pemerintah masih bersikeras menerapkan UN dengan sistem sekarang, maka selama itu pula akan ada resistensi dari masyarakat.

Semoga anaknya sukses yah pak.

Salam hormat,

Anto

Reply
avatar