‘Kudeta Bahasa’ dan Imprealisme Linguistik


Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Riau Pos, 14 September 2013)

 
Satu minggu belakangan nama Vicky Prasetyo mendadak menjadi bahan ocehan banyak orang di social media segera setelah video wawancaranya dengan sebuah media infotainmen menyebar luas di jejaring social media itu. Wawancaranya menjadi buah bibir karena gaya bahasanya yang ‘khas’ dengan banyak istilah dan kosa kata yang ‘unik’ dan ‘asing’ mengalir lancar dari mulutnya. ‘Statusisasi hati’, ‘konsipirasi kemakmuran’, dan ‘mensiasati kecerdasan’ adalah diantara kosa kata ala Vicky. Mayoritas orang sepertinya merasa ‘geli’ (untuk tidak mengatakan ‘muak’) mendengar istilah asing ala Vicky ini. Karena, dari sisi Bahasa Indonesia yang baik dan benar, istilah-istilah itu terdengar sangat tidak pas. Meminjam istilah Vicky sendiri, bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan Vicky telah ‘mengkudeta’ Bahasa Indonesia. Karenanya, sebagian orang tak tahan untuk membully Vicky di berbagai situs dunia maya.

Tulisan ini tidak bermaksud menambah daftar bullying pada Vicky secara pribadi, tidak juga dimaksudkan untu mengupas sisi kehidupan pribadi Vicky. Apalagi saya memang tidak pernah mengenal nama ini sebelumnya. Tulisan ini lebih akan menyorot dan menganalisa ada apa di balik fenomena gaya bahasa Vicky dan apa hubungannya dengan proposisi yang disampaikan Philipson (1992) dalam bukunya berjudul linguistic imprealisme.

 ‘Penjajahan’ Baru
Dengan menggunakan perspektif post-colonialisme (pasca-kolonial), Philipson menyebut bahwa penyebaran bahasa Inggris yang masif kepada dunia ketiga dan atau negara berkembang telah menyebabkan satu bentuk ‘imprealisme baru’ yang dia sebut dengan ‘imprealisme linguistik’ itu. Yaitu ketika pengajaran bahasa Inggris secara terstruktur, sistimatif, dan masif ke banyak negara itu telah membawa dampak negatif. Jenis imprealisme ini menambah dominasi negara pengguna bahasa Inggris, seperti UK dan USA  terhadap banyak negara berkembang setelah mereka sangat kuat dan mewarnai banyak negara lain di bidang ekonomi, militer, sosial, dan politik.

Secara ekonomi, pengajaran Bahasa Inggris adalah bisnis yang besar. Jutaan dolar mengalir ke negara produsen material pengajaran Bahasa Inggris (USA, UK, Australia) dalam bentuk pembelian materi audio-visual, buku, sumber daya manusia dan lain-lain. Dan secara budaya, ‘negara importir’ bahasa Inggris ini juga terus mencengkramkan kukunya dalam beragam bentuk di negara pengguna Bahasa Inggris.

Di lapangan,akibat dari imprealisme baru ini bisa dilihat dari fenomena ‘penyikapan khusus’ masyarakat dan atau pemerintah terhadap eksistensi Bahasa Inggris dan pengajaran Bahasa Inggris di banyak negara non-english speaking countries, termasuk Indonesia. Sebagaimana kita tahu, dari sekian banyak bahasa asing, bahasa Inggris telah dipilih dan ditetapkan menjadi pelajaran wajib di sekolah menengah kita sejak kita merdeka.

Penggunaan bahasa Inggris telah menyerbu keseharian kita, mulai dari penggunaanya pada nama hotel, pusat perbelanjaan, sampai pada kosa kata yang digunakan masyarakat kita dalam keseharian. Bahasa Inggris juga dengan sadar digunakan dalam berbagai acara radio, tivi, surat kabar, dan bahkan di dunia pendidikan kita.

Adalah wajar jika kita mengganggap kemampuan berbahasa Inggris adalah penting, karena kita tidak bisa menolak fakta bahwa bahasa Inggris adalah bahasa global yang akan kita butuhkan pada banyak kesempatan. Kita tentu juga berkepentingan untuk masuk dalam lebih dari 1,8 milyar orang yang berbicara bahasa Inggris di dunia saat ini. Karena pentingnya Bahasa Inggris ini, bahkan negara maju sekelas Jerman-pun juga mulai memasukkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai bidang studi wajib di sekolah menengah mereka sejak tahun 2012.

Masalahnya adalah, kampanye pentingnya bahasa Inggris ini sepertinya diam-diam juga telah meracuni alam bawah sadar sebagian masyarakat kita bahwa bahasa Inggris seakan dianggap ‘mutiara paling berharga’, lebih penting dari kemampuan berbahasa lainnya. Karenanya, tak heran jika  mereka yang bisa berbahasa Inggris seperti mendapatkan perlakuan istimewa di masyarakat.

Di dunia pendidikan, perlakukan khusus pada status bahasa Inggris ini dengan mudah terlihat dalam beberapa kebijakan pemerintah. Tidak hanya menjadi pelajaran wajib, namun bahasa Inggris kadang dijadikan alat ukur short cut dalam menentukan sebuah sekolah atau seorang guru telah maju dan ikut perkembangan zaman. Praktik dalam penerapan RSBI yang kontroversi dulu, misalnya, bisa menjelaskan fenomena ini, ketika ukuran ‘berstandar internasional’ oleh sebagian kalangan disimplifikasi menjadi pengajaran menggunakan bahasa Inggris.

Bercermin dari  Vicky
Saya menduga bahwa fenome gaya bahasa Vicky adalah bentuk ekstrim dari sisi lain akibat imprealisme linguistik seperti yang disampaikan Philipson di atas. Yaitu ketika alam bawah sadar sebagian orang mulai ‘terjajah’ dan diam-diam menganggap bahwa kemampuan berbahasa Inggris adalah simbol dari status sosial. Bahwa mereka yang bisa berbahasa Inggris adalah orang-orang keren, kalangan intelek, modern, terdidik, dan dari kelas menengah ke atas. Akibatnya, sebagian orang seperti ‘memaksakan diri’ untuk bergaya memakai bahasa Inggris. Pemaksaan diri ini kemudian kebablasan, seperti kecendrungan yang terlihat pada fenomena Vicky.

Dalam bentuk yang lebih soft, fenomena ini juga bisa diperhatikan saat sebagian kalangan, seperti para politisi, pengamat, atau pembawa berita radio dan TV yang secara sengaja menggunakan istilah asing (bahasa Inggris) pada sebagian pilihan kata mereka. Walaupun sebenarnya tidak ada konteks yang memerlukan mereka untuk menggunakan istilah asing itu. Sekali lagi, itu mereka lakukan mungkin mereka menganggap bahwa semakin ‘canggih’ pilihan bahasa yang mereka gunakan, maka akan semakin ‘keren’ mereka akan dipersepsi pendengar mereka.


Saya tentu tidak sedang mengatakan bahwa kita sama sekali tak boleh menggunakan istilah asing itu. Dalam tulisan inipun, saya tidak bisa menghindari penggunaan beberapa istilah bahasa Inggris. Namun, poin saya adalah bagaimana kita menempatkan kembali bahasa Inggris ini pada porsi seharusnya. Gunakan dia secara tepat jika diperlukan.

Fenomena Vicky ini bisa dijadikan momentum semua pecinta bahasa Indonesia untuk memikirkan cara agar ‘kudeta bahasa’ ala Vicky ini tidak berakibat buruk pada eksistensi Bahasa Indonesia. Pada saat yang sama, kita mungkin perlu memikirkan cara bagaimana kita bisa menempatkan Bahasa Inggris secara proporsional dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Tentu kita masih tetap sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa bahasa adalah identitas penting yang melekat pada setiap bangsa. Dengan demikian, rusaknya bahasa bisa dikatakan juga ikut merusak sebuah bangsa. Karena alasan inilah kita berkepentingan agar jangan sampai ‘virus bahasa’ ala Vicky ini melahirkan bentuk Vicky lain dan kemudian ‘mengkudeta’ bahasa nasional kita. Wallahu’alam.

 *  Penulis adalah dosen FKIP Universitas Riau, Kandidat PhD di Fakultas Pendidikan, Monash University Australia

I teach (and learn) for the same reason I breathe. Jatuh cinta dengan kegiatan belajar dan mengajar, karena dua aktifitas inilah yang menjadikan peradaban terus tumbuh dan berkembang ^_^ I have been teaching in various institutions in Indonesia, ranging from primary school to university level. I am currently an associate professor in the English education department of Universitas Riau, Indonesia. My research interests are in the areas of (English) teacher training and education, English Language Teaching, and educational policy in the Indonesian context. I am happy to share my knowledge with all interested teachers worldwide. Feel free to contact me through my email as seen in my blog :-). Many thanks!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »