Menunggu Multiplier Effect Sertifikasi Pendidik

Oleh: Afrianto Daud

(Tulisan ini diterbitkan oleh Tabloid Pendidikan Jakarta, Minggu III Maret 2009)

Pelaksanaan program sertifikasi pendidik bagi sekitar 2.7 juta guru (dan juga dosen) kita di tanah air sampai saat ini telah memasuki tahun ke empat sejak dicanangkan tahun 2006 yang lalu. Menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Dr. Baedhowi, sampai akhir tahun 2008 sudah ada sekitar 360.000 orang guru kita yang sudah dinyatakan lulus program sertifikasi pendidik ini (baik yang lulus melalui penilaian portfolio maupun melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Dan tahun 2009 ini, pemerintah merencanakan kuota 200.000 guru untuk mengikuti sertifikasi pendidik tahun ini.. Dengan demikian, sampai akhir tahun 2009, diperkirakan sudah ada sekitar 560.000 guru Indonesia yang sudah dan akan dinyatakan sebagai guru professional.

Sebagaimana tema besar yang melatarbelakangi kebijakan sertifikasi pendidik ini, bahwa program ini diharapkan bisa menjadi instrument penting dalam upaya kita meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita, maka harapannya tentu ketika seorang guru telah mendapat sertifikat sebagai pendidik professional, dia bisa mentransformasi diri menjadi seorang pendidik yang menunjukkan dan menjaga sikap profesionalismenya dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Dengan kata lain, seorang guru professional seharusnya adalah seorang yang memiliki empat kompetensi pendidik sebagaimana diamanahkan Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.

Kalau asumsi perubahan itu benar-benar terjadi, maka diyakini akan terjadi multiplier effect (efek berantai) yang luar biasa pada proses perbaikan dunia pendidikan kita di tanah air. Pengaruh paling diharapkan adalah akan semakin efetifnya proses pembelajaran di setiap sekolah kita. Kita berharap setelah program sertifikasi ini kita akan menemukan para pendidik yang mencurahkan segala potensinya dalam melaksanakan tugas kependidikannya; para guru yang bergairah, bersemangat, memiliki etos kerja tinggi, disiplin, paham akan tugasnya, dan yang paling penting adalah para guru yang mencintai profesi kependidikannya.

Diyakini, suasana positif ini akan mengalir ke ruang-ruang kelas. Ketika para pendidik telah mencintai profesi kependidikannya dalam maknanya yang sebenarnya, kita akan menemukan ruang-ruang kelas yang hidup karena dipimpin oleh seorang pendidik professional, seorang guru yang kaya dengan berbagai ide kreatif tentang bagaimana menjadikan proses pembelajaran semakin efektif dan menarik, seorang guru yang tak pernah kehabisan cara dalam membantu anak didik mereka mencapai target-target pembelajaran, seorang guru yang tidak hanya bisa berperan sebagai sumber ilmu, tapi juga sebagai sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi para siswanya dalam menggapai asa dan masa depan mereka yang lebih baik.

Efek positif berantai itu tidak hanya akan terasa di sekolah atau di ruang-ruang kelas, tapi juga akan terasa di lingkungan luar sekolah atau di tengah masyarakat. Karena pendidik professional itu juga ditandai dengan kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial, maka kita nanti akan menemukan banyak guru yang tidak hanya berperan sebagai sumber inspirasi bagi siswanya di sekolah, tapi juga bagi masyarakat di lingkungan dimana dia berada. Dia akan menjadi model yang akan ditiru masyarakatnya, dijadikan salah satu sumber referensi penting dalam bermasyarakat. Bukan tak mungkin, kita akan bertemu dengan guru yang secara aktif berperan mengarahkan perubahan (director of change) masyarakatnya menuju masa depan yang lebih baik.

Lebih jauh, tentu suasana seperti ini akan berakibat pada semakin kuatnya pesona dan martabat profesi guru di tengah masyarakat. Profesi guru akan kembali menempati posisi terhormat di tengah masyarakat Indonesia. Profesi ini tidak akan lagi dipandang ‘seblah mata’ oleh sebagian orang. Dan kalau suasana seperti ini benar-benar tercipta, hampir bisa dipastikan bahwa profesi pendidik ini akan menjadi salah satu pilihan profesi yang sangat menarik bagi generasi muda cemerlang kita di masa datang.

Puncak dari multiplier effect yang kita harapkan tentu saja akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan nasional kita secara simultan dan signifikan. Secara berangsur tapi pasti, pendidikan kita akan semakin baik. Kualitas anak didik kita akan semakin membanggakan. Peringkat pendidikan kita di dunia akan semakin naik. Mayoritas anak bangsa ini akan memperoleh skill yang cukup untuk bisa survive di tengah kompetisi peradaban global yang semakin kuat. Dan pada saatnya nanti kita berharap bahwa kita betul-betul bisa merasakan bahwa kita berhak dan pantas duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa maju lainnya di dunia.


Betulkah sudah ada perubahan?

Di balik segala harapan di atas, pertanyaan mendasar yang sekarang penting kita jawab adalah, apakah betul mereka para pendidik yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi itu atau bahkan sudah menikmati tunjangan profesi pendidik benar-benar telah mentransformasi diri menjadi seorang pendidik yang professional? Apakah mereka yang sudah certified itu di lapangan sudah memperlihatkan dan membuktikan berbagai kompetensi yang telah kita bahas di atas?

Sebagai contoh dalam hal kompetensi pedagogis; sudahkah para certified educators itu menguasai dengan baik materi ajar mereka, mempersiapkan dengan baik kegiatan mengajar mereka, membuat silabus, membuat rencana pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif, dan melaksanakan penilaian sebagaimana dituntut oleh aturan perundangan yang berlaku?

Dalam hal kompetensi kepribadian, apakah mereka yang sudah menikmati tunjangan profesi pendidik itu benar-benar telah menjadi soerang neo educator, pendidik baru dengan darah, semangat, dan paradigma baru. Pendidik yang tidak hanya pintar mentranformasi knowledge kepada para peserta didiknya, tapi juga seorang yang dengan sadar dan terencana bisa mentransformasi nilai-nilai kebaikan kepada siswanya, dengan menunjukkan sikap dan kepribadian terpuji di hadapa para siswanya. Sudahkah mereka menjadi orang pertama yang mecontohkan betapa pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam proses pembelajaran, menghargai etos kerja, disiplin, menghormati orang lain, suka menolong, gemar membaca, tidak merokok, tidak terlambat, dan berbagai sikap dan kepribadian positif lainnya?

Pertanyaan seperti di atas harus terus disampaikan agar perubahan yang substansial itu benar-benar terjadi. Kita mesti khawatir kalau ternyata perubahan itu tak pernah ada, ataupun kalau ada, perubahan itu lebih banyak dalam hal artificial, seperti perubahan life style (gaya hidup) sebagian guru kita yang telah dinyatakan sebagai guru professional itu. Berubah dari seorang ‘oemar bakri’ yang sebelumnya datang ke sekolah dengan motor butut, menjadi seorang guru berdasi yang sekarang datang dengan menyetir mobil pribadi. Atau malah dari seorang yang sebelumnya telah menderita karena himpitan hutang kepada seorang yang semakin menderita karena menambah hutang baru untuk membeli aksesoris duniawi karena ada harapan sekian juta yang bisa diterima setiap bulan untuk menutupi hutang-hutang itu. Kalau ini yang terjadi, tentu sungguh sangat disayangkan.

Perlu Sistem Kontrol

Kekhawatiran akan fenomena di atas sangat beralasan, karena sampai hari ini belum ada sistem baru yang bisa mengontrol kinerja para guru yang sudah disertifikasi ini. Karenanya, untuk mengantisipasi kekhwatiran di atas, urgen dan penting dipikirkan oleh pemerintah sebuah sistem kontrol di setiap lembaga pendidikan untuk memastikan (baca: melakukan assessment) secara berkala dan terukur terhadap kinerja para guru professional ini. Sepertinya, kewajiban mengajar minimal 24 jam yang selama ini dijadikan syarat administratif untuk mencairkan tunjangan profesi itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, sangat jauh dari cukup sebagai ‘alat bukti’ menilai kinerja seorang pendidik yang profesional. Menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada kepala sekolah untuk mengontrol kinerja guru professional ini juga beresiko, karena kadangkala kepala sekolah sendiri berada di dalam lingkaran masalah itu.

Menurut saya, pada tahap awal, pemerintah bisa mengoptimalkan peran para pengawas sekolah di lingkungan dinas pendidikan (atau di kantor Departemen Agama) dalam menjalankan kontrol ini. Para pengawas itu, selain melakukan pembinaan rutin kepada para guru, semestinya juga harus menjalankan fungsi kontrolnya kepada seorang guru. Para pengawas itu mesti memeriksa dan memastikan bahwa para guru kita di sekolah telah benar-benar memiliki kompetensi pedagogis, misalnya dengan memeriksa kelengkapan pengajaran setiap guru, mulai dari perencanaan, sampai evaluasi. Apabila diperlukan, lembar penilaian dari pengawas bisa dijadikan sebagai tambahan persyaratan administratif untuk mencairkan tunjangan profesi pendidik itu.

Pada jangka panjang perlu dibikin sistem kontrol yang lebih kuat dalam melakukan peniliaian terhadap kinerja dan atau rekam jejak aktifitas guru-guru ini di lapangan. Pembentukan lembaga baru semisal tim auditor independen yang secara berkala bekerja menilai kinerja para guru setelah disertifikasi dengan sistem kerja yang berbasis profesionalisme perlu dipikirkan. Tim independen ini nanti secara berkala melaporkan hasil ‘audit’ mereka, dan sangat mungkin mereka merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberhentikan pemberian tunjangan profesi pendidik kepada guru tertentu yang setelah diperiksa tak layak lagi menerimanya.

Dengan adanya sistem kontrol seperti ini, pemerintah bisa memastikan bahwa tunjangan profesi pendidik ini hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar berhak dan layak memperolehnya. Pada saat yang sama, kekhawatiran kita bahwa tidak terjadinya perubahan substansial di dunia pendidika kita barangkali bisa diminimalisir. Kalau tidak, harapan untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih baik hanya akan menjadi impian kosong kita. Kalau ini yang terjadi, tentu kucuran dana miliaran rupiah yang dianggarkan pemerintah untuk program sertifikasi pendidik ini akan menjadi sia-sia belaka. Dan kita tentu sama sekali tak ingin mimpi buruk ini terjadi. Wallahua’lam.

· Afrianto Daud adalah alumnus Fakultas Pendidikan Monash University Australia.

I teach (and learn) for the same reason I breathe. Jatuh cinta dengan kegiatan belajar dan mengajar, karena dua aktifitas inilah yang menjadikan peradaban terus tumbuh dan berkembang ^_^ I have been teaching in various institutions in Indonesia, ranging from primary school to university level. I am currently an associate professor in the English education department of Universitas Riau, Indonesia. My research interests are in the areas of (English) teacher training and education, English Language Teaching, and educational policy in the Indonesian context. I am happy to share my knowledge with all interested teachers worldwide. Feel free to contact me through my email as seen in my blog :-). Many thanks!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 comments:

comments
4:26 PM delete

secara legal formal, profesionalisme guru ditunjukkan dengan sertikasi, tentunya dengan segala kekurangan dan kelebihan mekanisme pelaksanaanya. Yang jelas, semoga kondisi atau perkembangan politik tersebut tidak akan mengurangi semangat para guru

Reply
avatar