Menimbang Kembali RSBI dan SBI


 Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini diterbitkan Tabloid Pendidikan GOCARA Bogor Edisi 22/III/Juni/2010)
Sebutan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) mulai muncul dan menghiasi warna warni perkembangan dunia pendidikan nasional pasca pemberlakukan UU No. 23/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Pasal 50 Ayat 3 Undang Undang ini mengamanatkan agar pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Pasal ini kemudian menjadi dasar yuridis setiap pemerintah daerah untuk mengadakan dan mengembangkan SBI dan atau RSBI.
Pada proses pendirian dan perkembangannya, sekolah jenis ini biasanya mendapatkan perlakukan istimewa dari pemerintah (pusat, provinsi dan daerah), mulai dari alokasi dana khusus dengan jumlah signifikan, penyediaan sarana dan parasarana khusus, penyediaan para ‘guru pilihan’, sampai pada pendampingan dan pembinaan intensif tenaga pendidik dan non kependidikan di sekolah tersebut agar proyek SBI ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dari segi pendanaan, misalnya, pemerintah provinsi setiap tahunnya harus menyiapkan dana lebih Rp 150 juta per sekolah. Pemerintah pusat juga membantu sekitar Rp 500 juta untuk SMK dan Rp 300 juta buat SMA setiap tahunnya (Prihantoro, 2010).
Semangat pendirian SBI pada awalnya barangkali terkait dengan keinginan kuat bangsa ini untuk mengejar ketertinggalan kita dengan bangsa lain dalam hal kualitas sumber daya manusia. Sebagai bangsa kita ingin duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa maju lainnnya di dunia. Kita ingin keluar dari kelompok negara berkembang (baca: negara tidak maju) yang sudah sangat lama disematkan kepada kita, dan entry point pentingnya adalah dengan terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan kita. Kemunculan SBI kemudian diharapkan bisa menghasilkan lulusan (anak bangsa) yang berkelas (berkualitas) nasional dan internasional sekaligus.
Namun dalam lebih enam tahun perkembangannya, program SBI ini sepertinya belum banyak menunjukkan keberhasilan sebagaimana semangat awalnya. Salah satu kesimpulan dalam disertasi Mudjito Ak (2009) terkait evaluasi kebijakan pendidikan nasional tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI) untuk pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) menegaskan bahwa sekolah bertaraf internasional untuk pendidikan dasar dan menengah pada kenyataannya belum memberikan pengaruh yang berarti baik bagi peningkatan mutu pendidikan maupuan kemajuan pendidikan nasional (Republika, 02/06/2010). Walaupun ada yang menolak ‘tuduhan kegagalan’ SBI ini dengan mengatakan bahwa mayoritas siswa lulusan SBI biasanya memperoleh nilai di atas rata-rata pada Ujian Nasional atau banyak siswa alumni SBI yang diterima di PTN. Menjadikan ini sebagai indikator keberhasilan SBI jelas sangat tidak cukup dan terkesan sangat menyederhanakan masalah. Penilaian seperti ini tidak hanya berpotensi bias, karena mayoritas siswa SBI memang sudah menjadi “siswa pilihan” sejak awal sebelum mereka masuk SBI, juga karena hal yang sama juga bisa dilakukan oleh sekolah nasional lainnya yang tidak berlabel SBI. Terus kemudian apa bedanya sekolah dengan label SBI dan non-SBI?
Belakangan banyak masyarakat malah resah dengan keberadaan SBI dan atau RSBI ini. Selain karena belum jelasnya poin keberhasilan SBI ini, juga karena besarnya biaya yang dipungut oleh pihak sekolah kepada orangtua siswa yang belajar di SBI ini. Karena biaya ini, SBI kemudian malah dipelesetkan menjadi “Sekolah Bertarif Internasional” (Kompas, 7/05/2010). Pungutan pihak sekolah yang sangat besar di sekolah seperti SBI ini tentu kontradiktif dengan semangat yang sedang dibangun pemerintah sendiri dalam penyelenggaran sistem pendidikan gratis untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana diamanatkan pasal 31 UUD 1945. Karenanya, kemdian banyak pihak yang menyuarakan agar semua pihak kembali mengkaji ulang keberadaan SBI/RSBI ini.
Bermasalah Sejak Awal
Kalau kita telusuri sejarah awal pendirian SBI, sesungguhnya kita sudah merasakan adanya potensi masalah ini sejak awal. Masalah utamanya adalah ketidakjelasan definisi dan filosopi SBI yang akan kita didirikan. Definisi umum yang diberikan pemerintah tentang SBI adalah bahwa SBI merupakan sebuah sekolah dengan kurikulum nasional plus. Namun panduan SBI yang dikeluarkan pemerintah tidak memberikan deskripsi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan konsep “plus” ini. Ketidakjelasan ini kemudian membuat banyak pemerintah daerah dan sekolah bebas mendefinisikan sendiri SBI sesuai dengan apa tafsir dan pemahaman mereka.
Walaupun ada sekolah yang menafsir bahwa SBI/RSBI adalah sekolah dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diajarkan dalam bahasa Inggris, dan mengadopsi kurikulum International General Certificate for Secondary Education (IGCSE)-Cambridge, namun beberapa pengelola SBI/RSBI memahaminya dengan konsep sangat terbatas. SBI/RSBI ditafsir sebagai sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar proses pembelajaran, sekolah dengan fasilitas dengan ruang kelas berpendingin ruangan, sekolah dimana guru lebih banyak menggunakan laptop dan LCD projector saat menerangkan pelajaran, atau bahkan ada yang memahami bahwa SBI/RSBI seperti bus malam kelas eksekutif, sebuah sekolah dengan kamar kecil/toilet di setiap ruang kelas. (Rizali, 2008)
Kendala teknis, seperti ketersediaan para guru mata pelajaran dengan penguasaan bahasa Inggris yang baik, adalah masalah lainnya.  Surya Dharma PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas dulu juga mengakui bahwa dari 260 kepala sekolah SBI yang diberikan tes kemampuan bahasa Inggris, TOEIC, menurut Surya Dharma, hanya 10% yang memiliki kemampuan memadai, sedangkan sisanya, 90% kemampuannya hanya mencapai skor 245, artinya masih di bawah tingkat dasar (elementary).
Data lain, hasil ujian IELTS guru yang akan diproyeksikan dapat mengajar pada kelas rintisan internasional menunjukkan keadaan yang serupa. Dari sekitar 40 peserta, kurang dari 20% yang mampu memperoleh skor IELTS antara 4,0-4,5, sedangkan sisanya hanya memperoleh skor antara 2,5-3,7. Padahal seorang guru diizinkan mengajar program internasional harus memiliki skor minimal 6,5 pada IELTS (atau skor 550 pada
TOEFL). Hasil penilaian terhadap kompetensi akademis dan kemampuan pedagogis
guru pengajar menunjukkan keadaan hampir sama, memprihatinkan.
Potensi deskriminasi dalam dunia pendidikan adalah masalah lain yang dimunculkan oleh SBI. Ini karena SBI biasanya memilih dan menseleksi calon siswa dari kalangan tertentu sejak awal. Biasanya yang diterima di sekolah jenis ini adalah mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas dan dengan kemampuan di atas rata-rata. Dengan kata lain, mereka yang dengan kemampuan akademik rata-rata atau yang berasal dari keluarga miskin sangat kecil kemungkinan bisa menikmati proses pendidikan di lingkungan SBI ini. Hal ini jelas sebuah diskriminasi dan bertentangan dengan nilai dasar pendidikan yang tidak boleh membeda-bedakan perlakukan terhadap warga berdasarkan latar belakang sosio, ekonomi, dan kapasitas kognisi mereka.
Perlu Revisit Konsep
Mengingat besarnya biaya dan energi yang dihabiskan anak bangsa ini untuk menghidupi SBI/RSBI, sementara hasil dan dampak SBI untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional tak kunjung jelas, maka sepertinya mendesak bagi semua elemen terkait melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan SBI ini.
Bahwa kita perlu menjadi bangsa dengan kualitas standar internasional adalah benar. Namun, perlu dikaji lebih mendalam apakah usaha mencapai standarisasi itu tepat dilakukan melalui pelaksanaan SBI/RSBI seperti sekarang. Apakah justru yang terjadi sebaliknya, kita berinvestasi besar dalam SBI untuk sesuatu yang tak jelas muaranya kemana.
Kalau misalnya SBI adalah pilihan yang tepat, terus kemudian apa dan bagaimana konsep SBI yang benar-benar bisa mengantarkan kita semua pada misi peningkatan kualitas pendidikan nasional? Atau malah kita tidak mesti membuat dan menisbahkan sekolah-sekolah nasional kita dengan embel-embel “keren” seperti SBI, yang paling penting adalah bagaimana kita memperkuat dan memantapkan kurikulum nasional kita yang sudah ada; yaitu secara serius membangun dan lebih mengutamakan isi daripada kulit luar. Sebuah konsep pendidikan nasional yang melayani semua kepentingan anak bangsa, siapapun dan apapun latar belakang ekonomi, intelektual, dan sosialnya.
Pertanyaan-pertanyaan substansial seperti itu mendesak dan penting terus dibahas, agar energi dan investasi kita dalam perbaikan dunia pendidikan menghasilkan sesuatu yang terukur untuk kemajuan bangsa. Pertanyaan seperti itu butuh jawaban yang jelas agar suara miring sebagian masyarakat kita tentang SBI bisa dijawab tuntas. Agar sinyalemen Rizali (2010) yang menyebut keberadaan SBI adalah refleksi dari kerendahdirian kita sebagai bangsa tidak benar adanya. Kalau semuanya dibiarkan “abu-abu” seperti sekarang, maka kita khawatir waktu, tenaga, dan investasi dana yang kita berikan untuk mendirikan dan mengembangkan SBI/RSBI selama ini menjadi sia-sia . Wallahua’alam.

I teach (and learn) for the same reason I breathe. Jatuh cinta dengan kegiatan belajar dan mengajar, karena dua aktifitas inilah yang menjadikan peradaban terus tumbuh dan berkembang ^_^ I have been teaching in various institutions in Indonesia, ranging from primary school to university level. I am currently an associate professor in the English education department of Universitas Riau, Indonesia. My research interests are in the areas of (English) teacher training and education, English Language Teaching, and educational policy in the Indonesian context. I am happy to share my knowledge with all interested teachers worldwide. Feel free to contact me through my email as seen in my blog :-). Many thanks!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »