Perceraian, Social Media, dan Anak-Anak Kita

Salaam,

Saya ingin berbagi tentang beberapa hikmah yang saya peroleh dari pengajian subuh di Masjid Westall pagi ini. FYI, Masjid Westall adalah masjid komunitas Indonesia yang berada di daerah Clayton dan sekitarnya. Pengajian jumat malam dan subuh pagi adalah dua kegiatan rutin yang diselanggarakan masjid ini dengan fokus pada pembahasan tafsir dan kitab Al Hikam. Jamaahnya tidak hanya berasal dari student dan PR yang berdomisili di daerah Clayton, tetapi juga didatangi oleh jamaah dari arah utara Melbourne, seperti Coburg, Brunswick, Laverton, dan lainnya.

Subuh tadi, salah seorang pembicara, Syeikh Fadhil Fahmi, membahas tafsir delapan ayat pertama surat Al-Mukminun tentang karakter orang-orang beriman yang beruntung. Diantara fokus pembahasan adalah ayat ke 5 - 7:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ


23.5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,



إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ


23.6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.



فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ


23.7. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.


Yang menarik dari susunan ayat ini dibanding dengan beberapa poin sebelumnya terkait karakter orang beruntung (menjaga sholat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, dan senantias mensucikan diri mereka), bahwa Allah SWT harus menggunakan tiga ayat untuk menjelaskan 'pentingnya menjaga kemaluan/kehormatan diri'.

Dari susunan ayat ini bisa dipahami bahwa 'menjaga kehormatan' diri dalam konteks menjaga syahwat kemaluan jauh lebih berat dibanding dengan mendirikan sholat, mebayar zakat, dan seterusnya. Apalagi kita hidup di zaman yang 'serba mungkin' saat ini dimana interaksi dan komunikasi manusia antara satu dengan yang lain nyaris 'tanpa batas', maka usaha menjaga diri itu semakin menemukan tantangannya.

Menjamurnya sosial media, seperti facebook, twitter, dan lainnya membuat tantangan kita semkin kompleks. Ust. Fadhil mengutip fakta meningkatnya angka perceraian di masyarakat kita akhir-akhir ini. Di Australia angka perceraian itu 3 berbanding 2, bahwa pada setiap tiga pernikahan yang terjadi, dua diantaranya berakhir dengan perceraian.

Fenomena meningkatnya angka perceraian ini tidak hanya eksklusif terjadi di negara-negara yang notabene 'tidak mengenal Tuhan', tetapi juga terjadi di dunia muslim. Di tanah air sendiri, ada cukup banyak data dan laporan yang mengkonfirm fenomena ini.
Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), misalnya, menyebutkan bahwa pada kurun 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir, dan peningkatan perkara yang masuk bisa mencapai 81%. (Bagi yang ingin tahu berbagai laporan angka perceraian ini, bisa dilihat di sini).

Tentu penyebab perceraian itu bisa sangat banyak, mulai dari alasan klise 'sudah tidak cocok' sampai pada alasan prinsipil seperti perasaan karena dizalimi atau dikhianati. Satu diantara penyebab perceraian bisa jadi adalah adanya pengkhianatan dari salah satu pasangan, berupa perselingkuhan. Siapapun pasti tidak mau dikhianati, dan jika ikatan cinta suci pernikahan itu telah ternoda oleh pengkhianatan itu, bukan tidak mungkin hidup pernikahan itu kandas di meja pengadilan agama. Na'udzubillah.

Perselingkuhan adalah tindak kejahatan pernikahan. Layaknya sebuah kejahatan, mengutip Bang Napi, tidak hanya ada karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Dan di sinilah keberadaan social media memperoleh relevansinya. Berbagai fitur canggih social media itu memungkinkan setiap manusia berinteraksi dengan pola dan cara yang revousioner. Tak jarang kemudian, bibit perselingkuhan itu terjadi melalui ruang-ruang private di social media itu. (kalau tak salah dulu Uni Dina pernah membahas hal ini dalam salah satu postingannya di empe).

Saya tidak akan membahas baik buruk perceraian. Saya berasumsi bahwa setiap orang yang menikah, umumnya berniat menikah untuk membina keluarga selamanya. Akan menjadi aneh jika ada orang menikah dengan niat untuk kemudian bercerai lagi. Karenanya, kita mesti aware dengan segala potensi yang bisa merusak keharmonisan keluarga, termasuk bahaya 'pergaulan bebas' di dunia maya.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa social media sama sekali tidak bermanfaat. Tentu sangat banyak nilai positif di sana; sarana silaturrahim dengan saudara, berbagi ilmu dan hikmah, berbisnis, memperluas network. Namun perlu diingat juga bahwa ada 'lubang semut' yang bisa membesar dan berbahaya jika tidak dikelola dengan baik.

Technology is neutral by default, and it much depands on the man behind the gun who would make it beneficial or not. Saya percaya dengan ini.

Terkait dengan potensi bahaya dalam social media, seperti facebook, penting juga sebagai orang tua untuk memperkenalkan dan mengontrol penggunaan perangkat ini kepada anak-anak kita. Dalam sebuah tulisan, M. Fauzil Azhim pernah mengingatkan agar para orangtua memperhatikan 'dinamika' status facebook anak-anak kita. Karena dengan cara itu orangtua (diantaranya) bisa mengenali dan mendiagnosis awal apa yang terjadi dengan anak-anaknya. Dia bahkan mengingatkan bahwa anak-anak kita yang kelihatan anak baik di depan kita, bisa jadi menjadi 'sangat liar' ketika sudah ada di dunia maya. (Tulisan lengkapnya bisa di baca di sini).

Melarang anak untuk tidak punya akun facebook, barangkali tidak mudah untuk dilakukan. Arahan yang benar dan kontrol yang tepat adalah diantara hal yang bisa kita lakukan. Saya sendiri menekankan kepada anak saya untuk tidak menerima request pertemanan dari seseorang yang tidak dia kenal di facebook. Alhamdulillah sampai hari ini dia mematuhinya. Saya juga rutin melihat akun facebooknya, bahkan sampai mengontrol inbox messagenya. Saya bisa melakukannya, karena saya sendiri yang setup awal akunnya, jadi tahu passwordnya. :-))

Well, mungkin kepanjangan ya. Cerita 'gak jelas' saya pagi ini. Poinnya adalah saya mengingatkan diri saya bahwa tantangan untuk membina rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah di zaman kita dibomardir oleh kemajan teknologi seperti ini tidaklah mudah, dan malah semakin kompleks. Semoga Allah menjaga diri dan keluarga kita. Amiin.

Salaam,

Afrianto

I teach (and learn) for the same reason I breathe. Jatuh cinta dengan kegiatan belajar dan mengajar, karena dua aktifitas inilah yang menjadikan peradaban terus tumbuh dan berkembang ^_^ I have been teaching in various institutions in Indonesia, ranging from primary school to university level. I am currently an associate professor in the English education department of Universitas Riau, Indonesia. My research interests are in the areas of (English) teacher training and education, English Language Teaching, and educational policy in the Indonesian context. I am happy to share my knowledge with all interested teachers worldwide. Feel free to contact me through my email as seen in my blog :-). Many thanks!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

19 comments

comments
12:45 PM delete

ah ini sih bukan cerita 'gak jelas' atuh uda.. bermanfaat sekali..
Di Indonesia agaknya belum ada studi yang membahas berapa banyak jumlah perselingkuhan dan perceraian akibat FB. Namun, survey dari American Academy of Matrimonial Lawyers memberikan data, satu dari lima perceraian di Amerika Serikat melibatkan situs jejaring sosial Facebook.
Memang, bukan Facebook penyebab perselingkuhan dan perceraian. Sumber utama tentu saja ketidakharmonisan dalam rumah tangga, sementara FB adalah media yang menjadi ‘fasilitator’ terjadinya hal ini. Jadi perlu 'dijaga' dari dua sisi..di dalam rumah tangga perlu dijaga keharmonisannya; dan saat ber-FB pun perlu hati2..
Barusan saya menyadari bahwa postingan jurnal di MP akhir2 ini sepi banget ya (minimalnya dari kontak2 saya)? kebanyakan berupa Quick Note (kayak update status di FB). Padahal, banyak sekali penulis yang lahir setelah rajin bikin jurnal di MP (dulu, awal2 ada MP kan MP-ers rajin banget ngejurnal). Skrg stlh ada FB, orang merasa sudah 'lepas' dgn menulis sebaris-dua bari kalimat sehingga malah sulit kalau menulis panjang dan terstruktur.
Wah, maaf komennya jadi jurnal tersendiri nih..hehe..

Reply
avatar
12:46 PM delete

link tulisan saya Selingkuh Hati (gara-gara FB tea..):
http://bundakirana.multiply.com/journal/item/385

Reply
avatar
12:49 PM delete

Iya Uni,

QN sedikit banyak 'merusak' nature empe yang biasanya bisa menjadi sarana untuk menulis lebih bernas.

Saya dulu termasuk yang 'protes' ketika fitur QN diperkenalkan empe. Untung sekarang ada QN ala Tobie yang pernah diperkenalkan bu president empe, mbak Ari.

--
Gak apa-apa, silakan ditulis sepanjang-panjangnya uni. I am one of your loyal readers :-)

Reply
avatar
12:49 PM delete

Ok, get it. Thanks heap, Un.

Jazakillah

Reply
avatar
12:51 PM delete

Ini informasi baru bagi saya Uni. Thanks

Reply
avatar
1:28 PM delete

untung saya ga punya fesbuk lagi...

Reply
avatar
1:31 PM delete

jangan kan fesbuk, di empe atau blog lain, yang saya pernah lihat beberapa anak ustadz, rasanya tidak seperti membaca tulisan anak seorang ustdaz....

Reply
avatar
1:36 PM delete

selamat pak dokter! alhamdulliah

Reply
avatar
1:37 PM delete

iya, menjadi 'anak ustazd' saja tentu bukan alasan yang cukup menjadi baik.

Semoga anak-anak kita tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang soleh/ah.

Reply
avatar
2:23 PM delete

sebenarnya poin saya adalah semakin banyak fenomena anak yang lahir dari aktifis seperti ustadz yang supersibuk dengan acara dakwah untuk orang lain, namun keluarganya sendiri berantakan. Bahkan di tempat saya juga tak jarang para aktifis berkata: "jangan sampe anak dan istri melenakan kita dalam berdakwah". Dalam konteks apa dulu ini, klo karena berdakwah kepada orang lain atau kebanyakan kegiatan ini itu di luar namun keluarga kita yang justru sangat penting sebagai penerus generasi hancur berantakan, maka itu suatu yang paradoks...

fenomena anak ustadz yang jadi anak punk, perokok, pemabok, penzina, terutama di kota besar, cukup sering dibahas di forum lingkar kami..

Reply
avatar
3:44 PM delete

Iya pa Dokter. Fenomena ini sepertinya sudah menjadi perhatian nasional. Karenanya dalam 'sistem lingkar' itu sekarang dibentuk divisi baru yg khusus mengurusi 'pendidikan keluarga.

Kita tentu khawatir anak-anak kita menjadi 'Qan'an abad modern'. Saya setju orangtua adalah pihak pertama yg bertanggung jawab mengurusi tarbiyah anak-anaknya, tanpa harus meninggalkan tanggung jawab membina masyarakat.

Reply
avatar
3:55 PM delete

Menyimak dan mengambil ilmunya, jazakalloh khoir kang Anto dan teman2 di atas :)

Reply
avatar
3:57 PM delete

Waiyyakum Teteh :-)

* sambil menikmati capuccino hangat :-)

Reply
avatar
5:24 PM delete

eeaahh sampe bisa jadi detektif di akun anak nih..
apapun medianya bukan cuma fb dowang, kita kalu ga punya malu, bisa aja selingkuh.. bukan salah media, tapi orangnya deh..
tfs..

Reply
avatar
5:33 PM delete

isi tulisan saya, kurang lebih sama maksudnya dengan mbak Tintin

Reply
avatar
6:43 PM delete

Tfs
Mengingatkan sekali...

Reply
avatar
7:38 PM delete

Jazakallah pencerahannya Da Anto,

Reply
avatar