Hentikan Kekerasan kepada (oleh) Guru

Oleh: Afrianto Daud

(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Riau Pos, 3 Desember 2012)

“Violence, even well intentioned, always rebounds upon oneself”
--Lao Tzu

Membaca berita di harian ini (27/11/2012) tentang kasus penamparan oleh seorang oknum pejabat Dinas Kehutanan Provinsi Riau terhadap seorang guru, sungguh memuat kita miris.

Penamparan itu tidak hanya telah membuat tercabiknya wibawa seorang guru bernama Nurbaiti, namun dalam batas tertentu juga telah melukai kehormatan semua mereka yang berprofesi sebagai guru di republik ini.

Karenanya, apapun alasannya, tindak kekerasan orangtua murid seperti ini memang tidak boleh dibiarkan.

Bisa dipahami kemudian jika ribuan guru kemudian mendatangi kantor kepolisian dan berdemo menuntut pelaku untuk dihukum.

Dari berita yang kita baca di media, pelaku beralasan bahwa dia emosi karena mendapat laporan dari anaknya yang telah ditampar oleh gurunya.

Sementara sang guru membantah telah menampar muridnya, tapi membenarkan telah memegang kepala sang murid untuk menghentikan tingkah-laku sang murid yang dianggap nakal dan telah melampaui batas.

Menariknya kedua belah pihak telah membawa kasus ini ke jalur hukum.

Sang   guru dengan dukungan PGRI dan Dinas Pendidikan telah mengadukan kasus pemukulan ini ke pihak kepolisian, dan pada saat yang sama sang murid,  dengan dukungan keluarganya juga melaporkan ibu Nurbaiti ke pihak kepolisian dengan tuduhan telah melakukan tindak kekerasan kepada dirinya (Riau Pos, 29/11/2012).

Saya tidak dalam posisi membela siapapun, atau menyatakan salah satu pihak pasti salah atau benar. Biarlah para aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dan menyelesaikan perkara ini secara hukum.

Namun tulisan ini mencoba menganalisa kasus pemukulan ini dari beberapa sudut pandang, tidak hanya dari sisi bagaimana orangtua seharusnya bersikap terhadap guru, juga bagaimana seharusnya para pendidik bisa mencegah tindak kekerasan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Lain Dulu Lain Sekarang

Mejadi seorang guru di zaman  sekarang memang tak mudah, karena harus berhadapan dengan begitu banyak tantangan.

Tidak hanya tantangan dalam bentuk tuntutan pemerintah dan masyarakat agar seorang guru terus meningkatkan kualitas dan kompetensi mereka, pada saat yang sama seorang guru juga harus menghadapi tantangan berupa tindak-tanduk para murid yang beda jauh dengan perilaku anak didik pada masa lalu.

Sangat mungkin selama proses pembelajaran di level apapun, seorang guru akan menemui para siswa dengan karakter yang kadang tidak mudah untuk diatur (untuk tidak menyebut berperilaku liar dan nakal).

Tidak hanya itu, tuntutan dari orangtua dan cara mereka memperlakukan guru saat ini sedikit banyak juga mengalami perubahan.

Secara umum, profesi guru mungkin masih dihormati, namun cara orangtua menghormati guru dan kadar penghormatan mereka terhadap sosok guru mungkin telah mengalami pergeseran. Kasus penamparan di atas adalah contoh nyata dari pergeseran penghormatan ini.

Dulu, tentu kita masih ingat tatkala kita belajar mengaji di surau atau di musala. Orangtua kita akan mengantar kita kepada sang guru, dan mempercayakan proses belajar kita di sana sepenuhnya kepada sang guru.

Saya sendiri masih ingat di antara persyaratan yang dibawa orangtua saya sebagai “tanda kepercayaan” sepenuhnya kepada guru adalah dengan dibawanya sekerat rotan.

Rotan ini bisa digunakan oleh sang guru kapan saja dia mau,  jika saya sebagai murid telah melanggar batas dan atau aturan yang ditetapkan sang guru.

Tentu sang guru kemudian tidak semena-semena menggunakan rotan itu dalam proses pembelajaran. Dia akan menggunakannya secara proporsional dan dengan alasan yang jelas.

Melecut (hanya) telapak tangan kami, jika kami kedapatan dan terbukti menyabung ayam, misalnya. Namun, dengan suasana penuh kedisiplinan dan cendrung “keras” itulah hampir semua kami pandai mengaji.

Suasana belajar seperti itulah yang barangkali telah membentuk mentalitas kami untuk hormat kepada sang guru ngaji itu sampai hari ini.

Seiring perkembangan dan tuntutan zaman, pendidikan “ala rotan” itu tentu tidak sepenuhnya bisa diterapkan hari ini. Menggunakan rotan dan sejenisnya dalam proses pendidikan tidak hanya berpotensi disebut sebagai tindak kekerasan kepada murid, tetapi juga bisa berujung di meja pengadilan. Karena atas nama UU Perlindungan Anak, tindak kekerasan fisik kepada siswa bisa berujung pada delik pidana.

Namun, poin penting yang perlu dipertahankan dari “filosofi rotan” itu adalah bahwa tindakan tegas dalam bentuk hukuman adalah satu proses yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembelajaran.

Seorang murid harus dididik bahwa dalam hidup itu selalu ada risiko dari setiap tindakan yang kita lakukan. Berbuat baik akan memperoleh ganjaran yang baik (reward), sebaliknya berperilaku tak baik juga akan menuai hukuman (punishment). Karenanya, sekali lagi, tindakan tegas (walau tidak harus dimaknai dengan tindakan kekerasan fisik)  itu perlu dalam dunia pendidikan.

Poin penting lainnya dari “filosopi rotan” itu adalah perlu adanya kepercayaan timbal balik antara guru dan orangtua dalam proses mendidik anak-anak mereka.

Orangtua percaya sepenuhnya bahwa apapun yang dilakukan guru terhadap anaknya adalah untuk kebaikan pendidikan anaknya. Sebaliknya, sang gurupun akan bersikap bijak dalam memperlakukan siswa, sebagai bentuk usaha si guru mengemban amanah dari orangtua.

Dalam konteks kasus pemukulan terhadap guru kemaren, kepercayaan timbal balik inilah sesungguhnya yang telah hilang.

Tegas Yes, Kekerasan No

Sekali lagi, tindakan tegas dalam proses pendidikan itu perlu. Bukankah Rasulullah SAW sendiri mengajarkan agar kita menyuruh anak kita untuk salat pada umur lima tahun, dan membolehkan kita untuk “memukul” mereka jika mereka tidak mau mengerjakan salat pada usia tujun tahun.

Memukul di sini tentu tidak bisa secara sederhana diartikan dengan kebolehan memukul mereka secara fisik, tanpa batasan. Saya lebih memahami substansinya dengan perlunya ketegasan berupa “pukulan edukatif”.

Pukulan yang mendidik itu bisa berupa hukuman non-fisik yang berpotensi membawa efek jera. Seorang kenalan saya, misalnya, tidak memberi belanja harian kepada anaknya karena sang anak melanggar kesepakatan akan aturan yang telah disepakati sebelumnya. Ini dia berlakukan berhari-hari sampai sang anak sadar akan kesalahannya.

Saya pernah meminta seorang murid berdiri ke depan, dan menyuruh yang bersangkutan berbicara, menggantikan saya menerangkan pelajaran di kelas, karena yang bersangkutan berbicara saat saya menerangkan pelajaran.

Guru ditantang untuk terus berpikir mencara cara non-kekerasan seperti ini saat menghadapi anak murid yang “nakal”. Karena, seperti kata Lou Tzu yang saya kutip di awal tulisan ini bahwa kekerasan, walaupun diniatkan untuk kebaikan, seringkali berakibat buruk pada pelakunya sendiri.

Kemudian, juga penting diingat oleh para pendidik bahwa tindakan berupa hukuman tidak harus menjadi alternatif utama untuk merespon “kenakalan siswa”.

Dari pengalaman saya, pendekatan dari hati ke hati secara personal terhadap siswa yang dianggap bermasalah seringkali efektif dalam mengurangi atau bahkan menghentian “kenakalannya”.

Karenanya, daripada mencubit tangannya, atau memegang kepalanya saat kita marah, memeluk (hati) mereka, merangkul mereka, mendengarkan masalah mereka secara empatik, akan sangat membantu kita menyelesaikan permasalahan mereka.***

I teach (and learn) for the same reason I breathe. Jatuh cinta dengan kegiatan belajar dan mengajar, karena dua aktifitas inilah yang menjadikan peradaban terus tumbuh dan berkembang ^_^ I have been teaching in various institutions in Indonesia, ranging from primary school to university level. I am currently an associate professor in the English education department of Universitas Riau, Indonesia. My research interests are in the areas of (English) teacher training and education, English Language Teaching, and educational policy in the Indonesian context. I am happy to share my knowledge with all interested teachers worldwide. Feel free to contact me through my email as seen in my blog :-). Many thanks!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »