Belakangan dunia pendidikan kita kembali dihebohkan oleh
beberapa kasus kekerasan yang melibatkan siswa, guru, dan orangtua. Kekerasan
itu tidak lagi hanya dalam bentuk cerita lama berupa tawuran atau bentrok fisik
antar siswa, tetapi yang menyedihkan adalah bahwa bentuk kekerasan dalam dunia
pendidikan kita telah muncul dalam bentuk wajah yang baru, yaitu kekerasan
antara siswa dan guru, bahkan antara orangtua siswa dan guru. Kasus pemukulan
seorang oknum orangtua terhadap seorang guru di Sulawesi Selatan yang membuat
heboh netizen belum lama ini, misalnya, adalah diantara contoh bahwa tindak
kekerasan di sekolah kita telah berkembang menjadi berbagai bentuk wajah.
Sekali lagi, apa yang terjadi pada
seorang guru bernama Adnan Achmad, guru SMKN 2 Makasar, itu bukanlah kali yang
pertama. Sebelumnya publik juga dihebohkan oleh guru yang dipenjara karena
mendisiplinkan siswa mereka. Kita belum lagi bicara tentang kekerasan yang
menempatkan siswa sebagai korban. Kasus kekerasan itu memang telah banyak dan
terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), seperti dilansir keterangan tertulis Kemdikbud (2016), mencatat bahwa
sepanjang Januari 2011 sampai Juli 2015 sedikitnya ada 1.880 kasus kekerasan
yang terjadi di lingkungan pendidikan. Sebagian tindak kekerasan ini adalah
berupa kekerasan guru terhadap siswa atau antara siswa itu sendiri. Sebagian lainnya
berbentuk kekerasan atau teror orangtua kepada guru. Angka ini jauh meningkat
dari beberapa tahun sebelumnya dimana pada 2011, tercatat ‘hanya’ 276 tindak
kekerasan terjadi di sekolah.
Meningkatnya angka kekerasan di sekolah ini tentu adalah
sesuatu yang mengkhawatirkan. Oleh karenanya penting dan mendesak dipikirkan
cara yang sistematis bagaimana mengurangi atau bahkan menghilangkan fenomena
kekerasan di dalam pendidikan kita ini. Edaran Anis Baswedan, mantan Menteri
Kemendikbud yang melarang sekolah untuk melakukan praktek perpeloncoan dalam
Masa Orientasi Siswa Baru di sekolah itu adalah relevan dalam konteks ini.
Bahwa negara dan masyarakat harus berusaha menciptakan ruang belajar dan
suasana sekolah yang ramah anak, yang aman, dan jauh dari kekerasan fisik dan
non fisik.
Dalam rangka menciptakan sekolah tanpa kekerasan itu, ada
beberapa hal yang bisa kita lakukan bersama. Pertama, dalam rangka melindungi
guru dari berbagai potensi kekerasan jenis apapun, penting memastikan dan
memberi tahu semua pihak bahwa guru adalah profesi terhormat yang dilindungi
hukum dan atau undang-undang dalam menjalankan profesi kependidikan mereka.
Perlindungan ini tidak hanya dalam bentuk perlindungan ekonomi, sosial dan hak
untuk pengembangan diri, tetapi juga yang tak kalah pentingnya adalah
perlindungan dari rasa takut akibat teror fisik dan non fisik yang mereka
terima dari siapapun, termasuk dari masyarakat dan orangtua.
Dalam
konteks ini, selain perlindungan profesi dari UU No. 14/2005 tentang guru dan
dosen, sesungguhnya para pendidik di tanah air juga telah dilindungi peraturan
perundang-undangan dalam menjalankan setiap aktivitas kependidikan mereka,
termasuk saat memberikan hukuman kepada para siswa dalam rangka menegakkan
disiplin. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74
tahun 2008 dan Pasal 39 PP No 78
tahun 2008 tentang Guru menyatakan bahwa guru
memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar
norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak
tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan
perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah
kewenangannya. Guru dapat memberikan sanksi berupa teguran dan/atau peringatan,
baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan
kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Jika
pemberian sanksi terhadap pelanggaran tersebut di luar kewenangan guru, maka
guru dapat melaporkannya kepada pemimpin satuan pendidikan. Dengan demikian, seorang guru tidak bisa
disalahkan apalagi dipidanakan karena alasan HAM karena melakukan tindakan
tegas kepada siswa yang melanggar aturan sekolah.
Masalahnya adalah bahwa belum banyak guru yang mengetahui
perlindungan hukum ini. Pada saat yang sama, ada banyak orangtua yang tidak
paham dengan perlindungan hukum ini. Oleh sebab itu, penting bagi organisasi profesi
keguruan, semisal PGRI terus melakukan sosialisasi tentang perlindungan atau
aturan yang sudah ada. Pada saat yang sama PGRI wajib terus melakukan advokasi
atau bantuan hukum kepada guru yang menjadi korban tindak kekerasan tersebut.
Kedua, untuk mengurangi atau meniadakan tindak kekerasan di
level siswa, perlu memasukkan materi bagaimana menghadapi sifat dan sikap
kekerasan di kalangan siswa. Materi tentang etika, penghormatan sesama, dan
menjauhi perilaku bullying (baik
fisik maupun non fisik) ke dalam kurikulum kita. Substansi materi ini
sebenarnya sudah embeded dalam banyak
materi pelajaran kita. Namun, sepertinya penting dan mendesak untuk membahas
dan mengajarakan materi anti kekerasan ini secara lebih massif dan efektif
kepada siswa di sekolah. Bahwa kekerasan adalah tindakan tidak terpuji.
Kekerasan tak pernah membawa kebaikan apapun, kecuali melahirkan kekerasan
bentuk baru di waktu yang lain dengan cara yang sama ataupun berbeda.
Ketiga, sekolah perlu melibatkan orangtua bagaimana
mengurangi tindak kekerasan di sekolah. Karena sangat bisa jadi bahwa perilaku
jahat seorang oknum siswa di sekolah justru dia bawa dari perilaku ayah
bundanya di rumah yang suka mendidik anak mereka dengan kekerasan. Misalnya
anak-anak itu terbiasa mendengar kata kasar, umpatan, celaan, atau bahkan
serangan fisik dari orangtua mereka di rumah. Akibatnya, sadar atau tidak,
pengalaman buruk di rumah ini biasanya akan menular pada kebiasaan anak di
sekolah. Karenanya sekolah perlu berdialog dan mendengarkan bagaimana orangtua
mendidik anak-anak mereka di rumah.
Keempat, tak kalah pentingnya adalah bagaimana guru dan
tenaga kependidikan di sekolah bisa menjadi contoh utama dalam menciptakan
susasana sekolah yang jauh dari kekerasan, baik kekerasan fisik maupun non
fisik. Seorang guru misalnya sebisa mungkin harus menghindari hukuman fisik
berupa pemukulan kepada siswa. Dalam beberapa kasus, hukuman fisik inilah yang
menjadi awal dari tidak terimanya orangtua terhadap pelakuan guru. Guru
ditantang untuk mencari cara-cara yang lebih beradab dan lebih edukatif dalam menghadapi
tingkah laku siswa yang tidak sesuai harapan di sekolah.
Para guru juga wajib menghindari penggunaan kalimat keras
yang berpotensi melukai perasaan dan jiwa anak didik selama proses belajar.
Guru harus mengganti kalimat negatif menjadi kalimat positif yang lebih sehat.
Ketimbang mengatakan ‘kamu kok tak paham juga’, guru bisa mengatakan ‘kamu
hanya butuh usaha lebih keras lagi untuk paham’. Daripada mengatakan anak
muridnya ‘nakal’, guru yang baik seharusnya memandang murid jenis ini sebagai
murid yang butuh perhatian kesabaran ekstra dalam menghadapinya.
Kekerasan di sekolah sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Dia
terkait dengan banyak hal, termasuk budaya dan lingkungan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, usaha untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tanpa
kekerasan juga perlu melibatkan berbagai unsur itu, negara, pihak sekolah, dan
masyarakat. Kesamaan visi dari semua unsur ini sangat penting. Bahwa sekolah
yang baik dan kondusif itu adalah sekolah yang aman bagi semua penghuninya. Wallahu’alam.
Penulis adalah Doktor Ilmu Pendidikan Monash University Australia, Dosen FKIP Universitas Riau
(Tulisan ini pertama kali ditulis untuk Riau Pos)
(Tulisan ini pertama kali ditulis untuk Riau Pos)