Menyorot Langkah Mentri Nadiem

Oleh: Afrianto Daud

Satu setengah bulan sudah kabinet Indonesia Maju bekerja setelah dilantik presiden Joko Widodo sekitar akhir Oktober lalu. Salah satu mentri yang paling disorot dan ditunggu kerjanya adalah kerja mentri pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Makarim. Nadiem sendiri sebenarnya telah menyedot perhatian publik sejak pertama kali muncul di istana presiden sebelum kabinet diumumkan. Salah satunya, tentu, karena dia adalah satu dari dua generasi mileneal yang sekarang dipercaya menjadi kelompok elit pemerintahan, menjadi menteri, membantu presiden menjalankan roda pemerintahan.

Harap-Harap Cemas

Penunjukkan Nadiem sebagai mentri paling muda untuk memimpin kementrian yang mengurusi jantung, otak, dan hati sumber daya manusia Indonesia adalah eksperimen paling berani (untuk tidak mengatakan ‘pertaruhan terbesar’) Jokowi untuk masa depan anak-anak Indonesia. Ini adalah kementrian paling strategis dengan tantangan dan masalah yang kompleks. Kementrian ini tidak hanya mengurusi pendidikan sekitar 45,3 juta jiwa anak Indonesia di level pendidikan dasar dan menengah, juga sekitar 7 juta mahasiswa Indonesia, termasuk mengelola sekitar hampir 2,8 juta guru dan dosen dari ribuan sekolah dan universitas yang tersebar di ribuan pulau Indonesia.

Selain apresiasi terhadap penunjukkan Nadiem Makarim sebagai mentri pendidikan, cukup banyak kalangan yang juga ‘harap-harap cemas’ (untuk tidak mengatakan khwatir) dengan dipilihnya mantan CEO PT Gojek Indonesia ini. Mereka tentu berharap Nadiem bisa melakukan perbaikan sistem, meningkatkan kualitas pendidikan nasional, menjaga agar tujuan pendidikan nasional tetap on the right track, sekaligus cemas apakah mas mentri bisa melakukan itu semua dengan baik.

Betul bahwa Nadiem sukses mengelola Gojek Indonesia, namun rekam jejaknya di dunia pendidikan Indonesia belum banyak terdengar. Berbeda dengan mayoritas menteri pendidikan sebelumnya, Nadiem sebelumnya bukanlah guru, bukan dosen, bukan peneliti, bukan aktivis pendidikan, bukan guru besar. Bahwa dia anak muda yang berhasil menari dengan perkembangan zaman, tertutama di dunia ekonomi digital, sudah terbukti. Namun, bisakah Nadiem mengelola kementrian pendidikan dan kebudayaan dengan kompleksitas masalah dan tantangannya? Publik menunggu dengan harap-harap cemas.

Daur Ulang Ide Lama

Tentu terlalu pagi untuk menilai berhasil atau tidak. Wong baru saja mulai bekerja. Namun demikian, kita sudah bisa mengomentari arah-arah kebijakan mas mentri baru ini dari pernyataan dan pidatonya di beberapa momen, baik yang lisan maupun tertulis. Secara pribadi saya terus membaca dan mengikuti substansi statemen pak mentri. Sebagian pernyataannya viral. Dikomentari cukup banyak netizen. Dalam tulisan ini saya akan komentari beberapa diantaranya.

Menurut saya substansi dari berbagai statemen mas Nadiem sejak dia dilantik belum ada yang benar-benar baru. Nadiem hanya membahasakan ulang sesuatu yang sesungguhnya telah menjadi perhatian dan pekerjaan insan pendidik Indonesia sejak lama. Termasuk ketika Nadiem berbicara tentang permasalahan dan tantangan pendidikan Indonesia saat ini dan di masa depan. Ide-ide Nadiem hanyalah pengulangan dan paraphrasing dari ide-ide yang sudah ada.

Ketika Nadiem berbicara tentang link and match, misalnya, beberapa sa’at setelah dia dilantik. Isu tentang link and match, atau bagaimana menyambungkan antara apa yang dipelajari di sekolah dan peguruan tinggi dengan kebutuhan dunia industri, bukanlah hal yang baru. Sejak zaman presiden Habibie, persisnya ketika Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin oleh Prof Wardiman Djojonegoro, ide tentang link and macth ini sudah mengemuka. Berbagai kebijakan pendidikan nasional, seperti penguatan sekolah vokasi, sejak zaman Habibie sampai SBY dan juga Jokowi adalah bagian dari usaha link and match ini.

Pun begitu ketika Nadiem menyebut bahwa pendidikan kita harus berbasis kompetensi dan karakter. Isu tentang kompetensi juga bukanlah hal yang baru. Perhatian pemerintah terhadap kompetensi dan karakter ini sudah dimulai lama. Kurikulum 2004 bahkan disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum 2013 juga memberikan perhatian khusus kepada aspek kompetensi, dengan menekankan keseimbangan antara aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Penguatan karakter dalam pendidikan nasional juga telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017.

Dalam kesempatan berbeda, Nadiem mewacanakan penghapusan Ujian Nasional. Wacana ini sempat menarik perhatian netizen, terutama orang tua yang selama ini merasakan bahwa UN lebih banyak bikin heboh ketimbang bikin tenang. Inipun bukanlah ide baru. Suara banyak kalangan, terutama para aktivis pendidikan untuk menghentikan Ujian Nasional sudah dimulai sejak lebih satu dekade yang lalu. Debatnya sudah lama. Sudah banyak kajian akademik terkait ini.

Penghapusan UN adalah janji politik pemerintahan Joko Widodo yang belum ditunaikan di periode pertama. Sekarang Nadiem kembali mewacanakan hal yang sama. Wacana yang kemudian dia ralat sendiri. Bahwa UN akan tetap ada pada tahun 2020. Penghapusan baru akan dilakukan tahun setelahnya. Inipun belum tentu akan benar-benar jadi. Sangat bisa jadi janji penghapusan ini akan kembali menguap karena beberapa alasan.

Pernyaatan lain dari mas mentri yang sempat viral adalah cuplikan isi pidato beliau ketika perayaan hari guru nasional tanggal 25 November yang lalu. Banyak yang share di media sosial. Ditanggapi beragam. Apa yang disampaikan mas mentri secara substansi memang menarik. Saya setuju dengan banyak ide dalam pidato itu. Tapi, adakah yang baru? Menurut saya, polanya sama. Nadiem hanya menyampaikan ulang prinsip-prinsip pembelajaran yang sebenarnya sudah diketahui banyak pendidik.

Ketika Nadiem mengatakan, misalnya, bahwa guru perlu melakukan perubahan di kelas dengan cara mengajak siswa berdiskusi, bukan hanya mendengar. Memberikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas. Mencetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas. Ini adalah diantara bentuk pengejawantahan dari pendekatan pembelajaran yang disebut active learning atau student centered learning (SCL). Himbauan dan endorsement pemerintah untuk melakukan SCL bukan cerita baru. Ide ini bahkan sudah dimulai didengungkan sejak Kurikulum 1984 dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sampai Kurikulum 2013 yang menekankan aspek discovery, inquiry, dan project based learning.

Saya tentu tidak sedang mengatakan bahwa apa yang disampaikan mas mentri tak perlu dan tak relevan. Semua yang disampaikan mas Nadiem tetap perlu dan masih relevan untuk tetap diulang dan diingatkan. Tapi, yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana membuat ide-ide bagus itu terlaksana secara efektif di lapangan. Di sini kita menunggu terobosan seorang Nadiem Makarim.

Sebagai sosok muda yang disambut euphoria sebagian kalangan di awal masa baktinya, sejauh ini belum ada ide-ide yang benar-benar genuine yang disampaikan mas mentri muda ini. Ini termasuk statemen pak mentri ketika melantik rektor Universitas Indonesia baru-baru ini, bahwa kita memasuki era dimana gelar akademik tidak menjamin kompetensi. Sejak dahulu sebenarnya eranya juga sama, bahwa gelar sarjana tidak pernah memberikan jaminan kompetensi, apalagi jaminan kerja. Kompetensi dan keberhasilan di dunia kerja tak bisa diukur hanya dari selembar ijazah. Dari dulu juga begitu.

Antara Kurikulum, Guru dan Infrastruktur

Dalam kesempatan yang lain, mas Nadiem mengisyaratkan bahwa dia juga akan mengkaji ulang kurikulum, merombak yang sudah ada, membuat yang baru. Saya ingin sampaikan kepada pak mentri agar tidak terlalu cepat mengambil pilihan yang sudah biasa itu. Jangan sampai mas Nadiem meneruskan adagium lama, ganti mentri ganti kurikulum. Rakyat trauma dengan kebiasaan ini.

Bahwa kurikulum perlu ditinjau ulang adalah hal yang biasa. Konten kurikulum memang perlu terus dikaji dan diselaraskan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Namun mengutak atik Kurikulum 2013 yang masih relatif baru tanpa kajian komprehensif adalah kecerobohan. Butuh waktu lama untuk melihat hasil sebuah kurikulum.

Karena masalah pendidikan begitu kompleks, saya ingin sampaikan kepada mas mentri agar tetap memprioritaskan pengelolaan guru. Mulai dari perekrutan calon guru, memperbaiki proses pendidikan mereka. Meningkatkan kualitas mereka. Mensejahterakan mereka. Pada akhirnya, kurikulum sebagus apapun tak akan pernah teraplikasi dengan baik jika tidak didukung oleh guru-guru yang profesional. Sebaliknya, kurikulum sesederhana apapun akan menjadi hebat di tangan guru-guru hebat.

Terkait guru, kita sudah on the right track, walau masih banyak PR yang mesti diselesaikan. Komitmen negara terkait profesionalisme sudah dimulai sejak UU No 14/2005 tentang guru dan dosen. Sejak itu negara sudah memberi perhatian khusus terhadap keberadaan guru, termasuk kesejahteraan mereka. Permasalahnnya tentu belum semua terurai, termasuk gap perhatian negara terhadap guru negeri dan guru honorer. Juga gap kualitas antar individu guru dan penyebaran guru di perkotaan dan di daerah terpencil.

Beratnya beban administratif guru seperti yang disebut oleh mas mentri Nadiem adalah diantara benang kusut manajemen guru dan dosen yang mesti diselesaikan. Saya setuju bagaimana negara bisa menyederhanakan beban administratif guru dan dosen ini. Guru harus lebih banyak menghabiskan waktu bagaimana mengelola kelas dengan lebih kreatif dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Mereka harus lebih banyak berinteraksi dengan siswa. Memutakhirkan sumber belajar. Mencari cara terbaik melaksanakan pembelajaran. Merekfleksi pembelajaran. Tak saatnya lagi guru menghabiskan banyak waktu menyiapkan dokumen perangkat pembelajaran, misalnya. Tak ada urgensinya guru mesti membuat dokumen Rencana Pembelajaran yang rumit dan berpanjang-panjang. Jika bisa dibuat sederhana, mengapa harus dibuat rumit dan sulit.

Selain fokus pada manajemen guru, kemendikbud juga perlu memprioritaskan melengkapi infrastruktur dan fasilitas sekolah dan kampus. Guru-guru hebat akan semakin melejit kehebatannya jika ditopang oleh sarana dan parasarana pembelajaran yang memadai. Maka anggaran kemendikbud yang mencapai hampir 36 triliun itu perlu lebih banyak dialokasikan untuk pemenuhan infrastruktur sekolah dan perguruan tinggi, sebagaimana amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya standar sarana dan para sarana. Agar tak ada lagi sekolah yang tidak punya ruang kelas. Agar tak ada lagi sekolah yang tak memiliki perpustakaan. Atau agar tak ada lagi kampus bahkan yang tak punya ruang khusus untuk dosen mereka sendiri.

Masih banyak hal yang perlu menjadi perhatian, jika mau diurai lebih panjang. Termasuk infrastruktur jaringan internet dengan segala perangkatnya di sekolah dan kampus di seluruh Indonesia. Bagaimana mungkin kita bicara era revolusi industri 4.0 jika bahkan untuk mengakses internet saja siswa tak bisa.

Dimana Akhlak, Iman dan Taqwa?

Sejauh ini pak menteri telah menyampaikan beberapa kekhawatiran dan mimpi-mimpi beliau tentang masa depan pendidikan Indonesia. Namun, sepanjang yang saya amati dalam pidato-pidato beliau, mas mentri nyaris belum pernah secara khusus berbicara tentang akhlak, iman dan taqwa.

Adalah bagus jika mas mentri prihatin dengan lemahnya penguasaan Bahasa Inggris anak Indonesia. Adalah juga penting mas mentri bicara tentang new literacy, seperti digital literacy dan data literacy yang harus dimiliki anak-anak muda Indonesia di masa depan. Juga relevan jika mas mentri bicara tentang pentingnya berbagai soft skills untuk bisa sukses di dunia kerja. Tapi, tak kalah pentingnya mas Nadiem juga mesti bicara tentang moralitas anak bangsa, tentang akhlak, tentang kebertuhanan, tentang iman dan taqwa dalam konteks pendidikan nasional.

Suatu hari di depan wartawan mas mentri mileneal ini dengan percaya diri mengatakan sebagai pribadi yang mengerti tentang masa depan. That’s great! Tapi, jangan lupa bahwa filosopi pendidikan kita jauh melewati kepentingan materialistis di dunia. Masa depan yang dimaksud oleh pendidikan kita tak hanya sedang menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia yang sementara, tapi jauh lebih dari itu – hidup di akherat kelak.

Saya bisa saja menulis lebih panjang lagi. Karena bicara pendidikan dimensinya sungguh luas dan tak akan pernah selesai. Tapi, saya cukupkan sampai di sini. Terakhir izinkan saya menuliskan ulang tujuan pendidikan nasional yang tertulis dalam konstitusi kita – UU No 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3). Semoga kemendikbud konsisten bekerja mengelola pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional ini.

Besok atau lusa, saya berharap mas mentri Nadiem sesekali juga bicara tentang bagaimana mempersiapkan peserta didik yang beriman dan bertakwa itu, memperkuat spiritualitas mereka, disamping bagaimana mempersiapkan mereka agar bisa makan, bisa cari kerja setelah mereka selesai sekolah atau kuliah.

Selamat bekerja. Semoga Allah beri petunjuk dan kekuatan. Serius kita berharap ada perubahan yang substantif dalam kabinet baru, bukan sekedar perubahan dresscode seorang mentri dalam menghadiri acara resmi sekolah dan kampus.

I teach (and learn) for the same reason I breathe. Jatuh cinta dengan kegiatan belajar dan mengajar, karena dua aktifitas inilah yang menjadikan peradaban terus tumbuh dan berkembang ^_^ I have been teaching in various institutions in Indonesia, ranging from primary school to university level. I am currently an associate professor in the English education department of Universitas Riau, Indonesia. My research interests are in the areas of (English) teacher training and education, English Language Teaching, and educational policy in the Indonesian context. I am happy to share my knowledge with all interested teachers worldwide. Feel free to contact me through my email as seen in my blog :-). Many thanks!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »