Oleh: Afrianto Daud
(Dosen FKIP Universitas Riau)
Banyak kampus mulai
mengumumkan bahwa kegiatan perkuliahan akan berlangsung tatap muka penuh di
kampus (full offline) menyusul
relaksasi aturan prokes dan proses pembelajaran di perguruan tinggi. Diantara
basis aturan kembalinya kampus membuka proses pembelajaran tatap muka penuh ini
adalah Surat Edaran (SE) Mentri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No.
7 thun 2022 tentang diskresi pelaksanaan keputusan bersama 4 (empat) menteri
tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi coronavirus
disease 2019 (Covid-19). Salah satu inti dari SE ini adalah bahwa pimpinan
pemerintah daerah bisa melakukan kebijakan dan keputusan sendiri terkait proses
pembelajaran seratus persen dengan mempertimbangkan kondisi daerah masing-masing
tanpa harus terikat secara ketat dengan tiga Keputusan Bersama Empat Menteri
sebelumnya.
Pembelajaran tatap muka penuh di darat ini bahkan telah dimulai lama oleh satuan pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Satuan pendidikan dasar dan menengah ini bisa dikatakan 'lebih progressif' dalam halam penerapan prokes dan pelaksanaan pembelajaran luring. Salah satu alasannya tentu adalah karena pandemi yang melanda dunia sudah mulai menjadi endemi. Bahayanya dianggap tidak semengkhwatirkan dulu. Angka vaksinasi juga terus meningkat. Sekolah dan kampus dianggap kembali aman untuk kembali menyelenggarakan proses pendidikan seperti sebelum pandemi. Tentu, dengan beberapa catatan terkait penerapan prokes.
Saya menduga akan terjadi semacam 'reverse culture shock' bagi sebagian dosen dan mahasiswa saat akan kembali belajar luring penuh di kampus. Reverse culture shock sendiri aslinya adalah terkait fenomena yang cenderung dialami oleh individu yang pernah tinggal sementara di suatu daerah asing dan kembali lagi ke lingkungan asalnya. Mereka yang lama tinggal di luar negeri dengan segala budayanya akan mengalama kejut budaya saat mereka kembali ke tanah air. Dalam konteks tulisan ini, reverse culture shock bermakna 'kejut budaya' yang dialami dosen dan mahasiswa ketika kembali belajar luring setelah sebelumnya terbiasa dengan belajar daring.
Ketika di awal pandemi banyak dosen dan mahasiswa (juga guru dan siswa) yang merasa terkejut dengan perubahan moda belajar dari tatap muka luring menjadi daring penuh. Dulu, sebagian dosen dan guru bingung bagaimana bisa mengelola kelas daring secara efektif. Mereka mengalami culture shock. Namun setelah menjalani proses belajar daring selama lebih dua tahun selama pandemi, dosen, guru, mahasiswa, dan siswa telah mulai terbiasa dengan segala proses daring ini. Mereka bisa saja telah memiliki budaya baru dalam hal proses pembelajaran. Budaya baru itu terkait dengan budaya digital yang difasilitasi oleh ekosistem pembelajaran virtual.
Banyak guru dan dosen makin terampil mempersiapkan pembelajaran daring seperti membuat perangkat pembelajaran berbasis digital, mengelola materi di Manajemen Sistem Pembelajaran (LMS), berinteraksi secara synchronous dengan mahasiswa melalui berbagai platform video konfrerensi, membuat video pembelajaran, sampai melakukan kuis dan penilaian dengan memanfaatkan banyak fitur pembelajaran berbasis online.
Pada sa’at yang sama, mahasiswa juga semakin literat secara digital. Kemampuan mahasiswa dalam adaptasi dengan budaya pembelajaran digital ini bisa lebih cepat dari sebagian dosen. Terlepas dari masalah jaringan di beberapa wilayah yang masih belum begitu kuat, secara teknikal banyak mahasiswa dan juga dosen saat ini sudah tidak lagi bermasalah dengan proses pembelajaran daring ini.
Tak heran jika beberapa survey terakhir mengindikasikan bahwa mayoritas mahasiswa lebih memilih belajar daring ketimbang luring. Sebuah survey yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (UII) di awal tahun 2022, misalnya, mencatat bahwa mahasiswa yang memiliki preferensi luring mencapai 71 persen, sisanya sekitar 29 persen lebih suka daring. Data ini berbeda ketika survey dengan topik yang sama pada awal pandemi dulu. Survey Kemendikbud tahun 2020 misalnya mengungkap bahwa 90 persen mahasiswa lebih memilih kuliah tatap muka ketimbang daring.
Perubahan penerimaan mahasiswa terhadap pembelajaran daring ini tak hanya karena pembelajaran daring memberikan fleksibelitas lebih kepada mahasiswa dan juga dosen dalam hal tempat dan waktu belajar, tetapi juga saya yakin karena mahasiswa dan dosen semakin terampil dengan pengelolaan kelas daring ini. Berkembangnya ketrampilan dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran daring ini tentu juga akan meningkatkan efektivitas pembelajaran daring.
Menghadapi Reverse Culture Shock
Diantara bentuk reverse culture shock itu adalah sangat bisa jadi dosen akan merasa terkejut ketika berbagai kemudahan yang mereka rasakan saat belajar daring tidak lagi mereka peroleh saat pembelajaran tatap muka penuh. Ketika pembelajaran daring, misalnya, mereka dengan mudah berbagi layar melalui fitur share screen di platform video konferensi saat kuliah melalui Zoom, Webex, Google Meet, dan lainnya. Ketika luring bisa jadi mereka akan mengalami kesulitian melakukan ini. Kadang sebagian dosen bisa menghabiskan waktu menunggu mahasiswa mencari infokus atau proyektor yang bisa tersambung ke laptop dosen di ruang kelas. Tidak semua ruangan di sekolah dan juga di kampus yang sudah terinstalasi proyektor. Proyektor bahkan mungkin masih dianggap benda mewah di banyak ruang kelas perkuliahan.
Melalui share screen, dosen juga dengan mudah berbagi banyak materi ajar
seperti video, gambar, animasi, audio, games, dan materi perkuliahan lainnya
secara daring. Kemudahan ini bisa jadi menjadi sesuatu yang tak mudah saat dosen
mengajar luring penuh di kelas. Tak semua kelas yang dilengkapi fasilitas loud speaker untuk mendengarkan audio,
misalnya. Akibatnya, materi-materi yang sebelumnya dengan mudah digunakan dosen
sebagai pengaya materi pekuliahan ketika daring bisa jadi tak bisa lagi
digunakan secara efektif dan efisien ketika luring penuh itu.
Inilah diantara bentuk potensi ‘budaya kejut balik’ yang mungkin akan dirsakan sebagian dosen dan mahasiswa. Mereka akan kehilangan beberapa kemudahan saat proses belajar daring. Ini belum lagi bicara kenyamanan suasana daring yang bakal tak ditemui saat daring. Dosen dan mahasiswa bisa mengikuti dan melakukan proses belajar dengan suasana santai ditemani secangkir kopi panas di meja kerja/belajar. Ketika luring penuh suasana ini sulit diperoleh. Yang ada justru bisa jadi adalah suasana kering dan kepanasan akibat banyak ruang perkuliahan yang belum dilengkapi sarana air conditioner.
Tentu adalah hal yang bagus jika kampus dan sekolah bisa kembali bertatap muka penuh. Apalagi memang ada beberapa mata kuliah yang tak bisa sepenuhnya daring. Mata kuliah yang memerlukan praktikum, misalnya. Proses pendidikan yang ideal juga memerlukan interaksi fisik yang ril di dunia nyata. Namun, kembalinya proses pembelajaran tatap muka seratus persen itu tidak mesti diartikan kembali persis seperti sebelum pandemi. Life will never be same again after pandemic. Bahwa kehidupan kita tak kan lagi persis sama dengan sebelum pandemic. Termasuk di dunia pendidikan.
Oleh karena itu, ketika sekarang kecendrungan semua kampus kembali tatap muka penuh, penting bagi kampus mempersiapkan beberapa hal, terutama untuk mempertahankan segala hal baik yang diperoleh selama belajar daring. Kemapuan dosen dan mahasiswa dengan literasi digital terkait perkuliahan mesti terus difasilitasi kampus. Pembelajaran dan atau perkuliahan di kampus sebaiknya tidak kembali ke masa lalu yang jauh dari sentuhan teknologi digital. Segala hal yang baik itu mesti terus dipertahankan.
Walaupun perkuliahan tatap muka seratus persen, dosen mesti diberikan kebebasan
untuk bisa tetap mempertahankan sebagai budaya belajar virtual itu. Misalnya
dosen bisa mengelola kelasnya dengan moda perkuliahan yang mengadopsi prinsip
pembelajaran bauran (blended learning), dimana
perkuliahan bisa dilakukan dengan campuran antara tatap muka langsung dan tatap
muka maya. Untuk ini, kampus harus tetap merawat Learning Management System (LMS) mereka sehingga dosen bisa
mengelola materi perkuliahan dan mahasiswa bisa mengakses materi di sana. Mahasiswa
bisa belajar mandiri secara asinkronous sebelum bertatap muka kembali dengan
dosen pada pertemuan berikutnya.
Selain membangun infrastruktur pembelajaran digital yang kuat, sudah kewajiban kampus juga membanguan ruangan kelas pintar yang ramah digital (digital smart classroom). Kampus wajib memastikan ada akses internet di setiap ruang kelas. Paling tidak setiap ruang kelas sudah mesti terinstalasi proyektor dan loud speaker yang cukup baik. Peralatan ini bisa digunakan dosen kapan saja mereka perlu tanpa harus mencari-cari atau meminjam ke sana kemari sebelum perkuliahan. Ruangan perkuliahan mesti dibikin senyaman mungkin. Tidak mesti seperti senyaman hotel. Setidaknya ada pendingin ruangan yang memungkinkan dosen dan mahasiswa betah dan tidak gerah berlama-lama di ruangan kelas.
Jika semua hal terjadi
karena satu alasan, maka pandemi ini kita yakini juga terjadi karena alasan
tertentu. Ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil selama prosesnya,
termasuk pembelajaran atau hal-hal baik terkait pembelajaran daring. Kita perlu
mempertahankan dan terus tumbuhkan segala hal praktik baik terkait pembelajaran
daring itu, walau saat ini kampus telah mengumumkan pembelajaran tatap muka
seratur persen. Sekali lagi, life will
never be same after pandemic. Hidup kita tak kan pernah persis sama lagi
seperti sebelum pandemi. Wallahu a’alam.
--
Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh Riau Pos, Senin 15 Agustus 2022